17 Mayıs 2012 Perşembe

GAMBARAN UMUM SEJARAH ACEH


Mehmet Özay 

PENDAHULUAN

Wilayah Aceh yang terletak dibagian utara pulau Sumatra telah sekian lama menjadi pusat kerajaan-kerajaan Islam jauh sebelum periode pre-Islam.

Jaman sekarang, Sebagai sebuah salah satu wilayah dari 33 provinsi Republik Indonesia, Aceh merupakan lapangan penelitian penting sehubungan dengan posisi sejarahnya pada masa lampau terhitung sejak Aceh diakui sebagai perwakilan peradaban Islam di Asia Tenggara. Oleh karena itu peran Aceh tidak dapat dikupas hanya dalam proses perkenalan Islam keseluruh wilayah. Bagaimanapun, sejak wilayah tersebut berada diluar pusat kekuatan Islam yang utama (Timur Tengah) Aceh tak dapat dikatakan tidak memiliki suatu nilai apapu untuk dipertimbangkan sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh berbagai kalangan dari negara-negara Islam atau para Akademisi luar negeri.1

Sebagaimana yang dapat dilihat di wilayah Asia Tenggara Aceh merupakan tempat bernaung bagi kota-kota pelabuhan. Keberadaan kota-kota pelabuhan dapat juga disaksikan sebelum periode Islam. Setelah beberapa waktu Islam muncul di Timur Tengah. Islam telah diperkenalkan ke wilayah Asia Tenggara dengan para pedagang dan ulama sebagai medianya, khususnya kalangan sufi. Oleh karena itu karakteristik kota-kota pelabuhan tersebut mulai berubah dan secara berangsur-angsur ciri khas islam pun tertanamkan.
Kesultanan Islam di wilayah Aceh- dimulai dari Peureulak, Langa, Daya, Samudra Pasai, Darussalam, sampai Aceh Darussalam-, menjadi sebuah jembatan antara bisnis perdagangan timur-barat dikarenakan letak geografisnya yang strategis. Dikarenakan hal ini, kita semestinya mengambil kesimpulan akan adanya hubungan yang dekat antara kesultanan-kesultanan dan bisnis perdagangan. Seiring waktu, ratu-ratu kesultanan melibatkan kekuasaan mereka dari kegiatan perdagangan didalam dan sekitar kota-kota pelabuhan.

Menurut dokumen-dokumen pada masa permulaan kota-kota pelabuhan diwilayah Aceh merupakan antrepo yang sangat penting. Sebagaimana yang dapat dilihat pada keunikan contoh kesultanan Aceh Darusalam, fungsi perdagangan kota menjadi lebih penting, khususnya pada permulaan abad ke-16 ketika kegiatan kolonialis barat yang sangat berpengaruh di seluruh Asia Tenggara.

Selepas Samudra India mengambil bagian sebagai sebuah perdagangan jalur laut dimana Aceh merupakan satu interseksi yang dihasilkan dari rute ladang perdagangan kuno melalui Asia Sentral antara timur-barat tidak.

Rute perdagangan tersebut yang lebih dikenal dengan sebutan Jalan Sutra berada dibawah penguasaan pedagang muslin yang datang melalui Cina, Asia Sentral, Iran, dan Timur Tengah yang kemudian digantikan oleh Samudra Hindia sebagai sebuah jalan dagang alternatif dikarenakan permasalahan keamanan.2 Bisnis perdagangan ini yang berjalan antara Laut Merah Mediterania, Laut (?) Khurmus, Selat Hindia, Selat Malaka, dan laut Cina tak hanya merupakan garis pertemuan dari timur dan barat tapi juga sebuah wacana perubahan peradaban kuno. Setelah hasil karya Fernand Braudel yang membuktikan laut memiliki banyak fungsi untuk penjalinan kontak dan hubungan antara berbagai kebangsaan dan budaya, dapat dilihat pula jauh dari wilayah perlautan Jawa dan Cina, barangkali fungsi laut tersebut lebih banyak, barangkali fungsi laut tersebut lebih banyak membuktikan bahwa laut telah berfungsi banyak untuk mempunyai kontak dan hubungan timbal balik antar berbagai kultur dan kebangsaan, dapat diakui juga bahwa di luar Jawa dan Laut cina, barangkali lebih dari lautan indian telah berfungsi seperti ini telah mempunyai fungsi seperti pada Selatan Timur Asia.3

Selat Malaka menjadi jalur laut penting diantara perdagangan east-west menyebabkan negara di sekitar itu dijadikan sebuah negara antrepo seperti Laut Mediterrenean dan jalan sutra. Daerah Aceh di bagian utara dari Pulau sumatra menjadi suatu juncture(!) yang dikarenakan bisnis perdagangan berbagai pedagang dari India, China dan Arap dari timur dan selatan kurang lebih 2000 tahun yang lalu.4

Daerah aceh dahulunya adalah tempat pemberhentian pedagang-pedagang india,5 di samping berfungsi sebagai wadah bagi orang-orang Romawi yang sangat membutuhkan product dari Cina seperti sutera dan cabai untuk tukar tambah bisnis juga sebagai pengembangan bisnis pada daerah-daerah yang jauh di Asia timur. Hari ini juga terlihat jelas dari beberapa bukti hubungan timbal balik seperti beberapa data konkrit dan sisa bangunan di daerah tersebut. Sebagai contoh, Mata uang roma (Koin), sebuah perunggu Lampu romawi ditemukan di Oc-Eo dan puri Kancasa Tailand. Di samping itu, koin tembaga yang ditanggali mundur kembali ke 2nd, pada jaman Roma Kaisar Hadrian tidak begitu terbuka dengan daerah aceh. Jika Naskah Cina sangat diperhatikan dan ditemukan sebagai acuan yang pertama di Aceh agar dapat dimulai pada 1500 tahun yang lalu. Daerah ini tidak hanya untuk perdagangan business internasional , tetapi juga dilihat di tiap-tiap kota-kota perdagangan, daerah ini sangat diperhatikan sebagai daerah geografi untuk mengembangkan budaya yang besar. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa bisnis perdagangan telah berfungsi untuk mengembangkan budaya dan intelektual di daerah.6

Dalam hal ini, menunjukkan bahwa betapa bisnis perdagangan mempunyai peran penting sebelum dan sesudah Islam. Tidak terbatasnya interaksi antara Barat dan Timur dalam perdagangan bahkan perdagangan telah mengarahkan perkembangan budaya, intelektual (philosophical) dan religius. Selain pedagang, pelancong, ilmuwan dari Arabia, Persia, Canton, Fujian, Yunnan, Hadramut, Coromandel, Patani dan orang Islam lain, buddist, sarjana christian dan confuiscian mempunyai pengaruh dalam sosial, budaya dan pengembangan ekonomi di daerah ini 7

Islam juga merupakan phenomena terpenting melebihi dari perdagangan dalam sejarah aceh. Dimana tempat-tempat aktivitas perdagangan luar negeri dikembangkan juga merupakan rumah bagi beberapa agama dunia. Ini menunjukkan begitu pentingnya peran pelabuhan kota besar pada waktu itu. yaitu pada abad 16th ketika kesultanan Aceh Darussalam sebagai penguasa regional, melihat bertambah dan meningkatnya kekuatan perebutan kesultanan Aceh Darussalam dan Bangsa Portugis dan meningkatkan bisnis perdagangan antara timur dan barat. Dengan ungkapan lain, Islam yang diketahui hanya pada kelas menengah yang mempunyai peran penting untuk menciptakan sebuah kelas baru, lingkungan sosial yang aktif dan kehidupan yang religius.

Pedagang yang mempunyai prakarsa untuk memperkenalkan Islam kepada penduduk pribumi di daerah tidak hanya tertarik untuk berbisnis dan berdagang, tetapi juga mempunyai pengetahuan religius, terkadang disebut orang yang ahli agama adalah sebuah tanda bagaimana pemhaman Islam bisa digabungkan kedalam aspek ekonomi dan intelektual antara satu dengan yang lainnya.8 Bisnis perdaganagan adalah sebuah phenomena yang dinamis untuk bertahannya sebuah negara yang baru ditemukan.

Terlihat pada masa Iskandar Muda, para penguasa kesultanan yang mendirikan kota pelabuhan yang besar, terkadang mereka sendiri yang mengatur bisnis perdagangan denga mengatasnamakan negara sekaligus mengatur bisnis mereka dengan orang asing. Di samping pelabuhan kota, pajak yang diambil dari pedagnag internasional adalah sangat penting untuk pendapatan negara. pendapatan ini juga sangat penting untuk meningkatkan kekuatan angkatan perang yang sekaligus juga digunakan untuk soveriegnas. Tentang ini, dapat dikatakan bahwa pembuat kebijakan hukum itu harus berdasarkan kontrol bisnis perdagangan di daerah.9 Untuk alasan ini, sebagaimana yang di kutip dalam sejarah aceh ketika pada era perdagangan bisnis juga berjalan dengan kebijakan yang sangat sesuai dan efisien secara kemiliteran dan juga aktif melawan kekuatan orang eropa. Sejauh kontrol bisnis di pegang oleh sultan sebagai pemegang kekuatan sentral maka secara kekuatan militer juga terdongkrak secara terus-menerus, Cukup kuat untuk menaklukkan berbagai daerah dan merelisasi pengembangan sosial budaya. Meskipun demikian, ketika sultan telah hilang kekuasaannya kemudian digantikan dengan kesultanan bangsawan maka kemudian kekuasaan menjadi lemah secara berangsur-angsur, juga sangat berdampak pada kedua aspek yautu politik internasional dan domestik.

Referensi-referensi tertulis tentang sejarah aceh
Dikarenakan masyarakat asia timur dan selatan secara umum telah terbiasa didasarkan pada struktur sosial berorientasi desa/kampung dan dokumen yang tertulis adalah jauh dari kepuasan bahkan hari ini study arkeoligis belum dapat diselesaikan secara efisien hal ini sangat sulit dikatakan bahwa ada banyak acuan tentang sejarah Aceh sebelum masa kolonialisasi.10

Bagaimanapun juga, kita harus menyebutkan catatan pelancong-pelncong seperti Marco Polo (pada ujung abad 13), Ibni Battutah (abad 14) dan orang barat yang sebagian besar pernah mengadakan ekspedisi dan peperangan dengan negara kolonialis dimana negara tersebut sebagai negara tua rumah, khususnya pada 16 dan setelahnya sebagai acuan utama sejarah aceh. Di samping naskah-naskah Melayu yang mana memiliki campuran fakta dan cerita legenda/dongeng, dan perkataan/percakapan naratif tradisional yang dapat memberikan beberapa gagasan tentang proses sejarah tersebut.11

Disebabkan kurangnya sumber tertulis, khususnya informasi yang berkenaan tentang sebelum kesultanan aceh sangat terbatas, sumber asli yang paling awal dapat ditemukan adalah didalam hikayat raja-raja pasai dan beberapa kaligrafi pada kuburan sultan samudra pasai di daerah pasai, aceh utara. hal tersebutlah mengapa sukar sekali mendaptkan informasi tentang para penguasa-penguasa, lembaga-lembaga dan beberapa sektor sosial pada masa kesultanan ini.12

Sampai pada masa penjajahan, permulaan abad 16, kesultanan didiirikan di daerah yang di cirikan seperti kota dermaga. Diluar samudra pasi dan peureulak yang sangat direferensikan oleh sarjana barat, peneliti dan pelancong sebagai titik awal islam berada di daerah tersebut, para sejarawan juga meneyebutkan enam kesultanan lainnya. Kesultanan kecil ini didirikan sebagai sebuah hasil pengelopokan diantara Lingga, Benua, Pereulak, Samudra-Pasai, Pidier (pidie), daya, Lamuri dan Aceh Darussalam juga dapat di sebut.13

Abad 16 mempunyai peran penting terbentuknya sumber-sumber tertulis kedalam 2 arah. Pertama, pada masa ini dimulainya kolonialisasi yang telah mempengaruhi daerah ini. Mereka datang tidak hanya berprofesi sebagai pedagang tetapi juga pelancong dan sejarawan. yang kedua, beberapa anggota aliran sufi seperti Naqshibendiyye, Shattariyye, Wahdet'Ul Wucud memberi arti penting dalam menulis beberapa topik yang berbeda tentang sience islam. Semua sumber ini memerikan detail informasi tentang latar belakang sejarah dan budaya di daerah tersebut. Oleh karena alasan ini, maka kesultanan Aceh Darussalam dianggap sebgai contoh unik di antara kesultanan yang telah disebut diatas. Semua sumber-sumber tertulis telah memerikan sumbangan yang berarti hampir semua aspek yang menyangkut permasalahan sosial dan politis pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Nampaknya Kesultanan Aceh darussalam merupakan sebuah negara yang penting yang mana telah tertulis pada akhir 500 tahun lalu dalam sejarah dunia melayu. Jika kita mepertimbangkan kekuasaan keduanya baik Semenanjung Malaya dan Pulau sumatra maka dipahami pentingnya geografi ini terutama sejarah daerah dan sejarah dunia secara umum. Kerajaan Sriwijaya yang dimulai dari abad 7, Majapahit dari abad 14, Malaka pada abad 15, Kerajaan Aceh Darussalam dan Bantem pada abad 16 dan 17 adalah contoh kekuasan daerah yang yang berurutan.14

Satu alasan yang significant Aceh menjadi terdepan adalah keberhasilan yang lama memelihara kemerdekaannya. Keistimewaan ini telah membuat perbedaan tempat diantara daerah-daerah keuasaan lainnya selama ratusan tahun.

Pada abad 15 dan 16 Aceh juga penting untuk dipahami oleh orang-orang eropa dan sejarah dunia pada beberapa aspect. Pada masa ini negara utama di eropa memperebutkan keduanya satu dengan yang lainnya serta pusat kekuasaan islam. Sebagaimana islam pada waktu itu terbentuk sebagai sebuah kekuatan dunia, kelihatnnya diharuskan memiliki keterwakilan pada setiap geografi/daerah. Perwakilan negara berada afrika utara, Timur Tengah, sub perbatasan India dan Selatan Timur Asia. Kesultanan Aceh Darussalam merupakan hal penting sebagai satu kekuasaan yang dinamis diantara negara di selatan timur Asia. Dengan kelebihan ini Aceh harus dipertimbangkan dg seksama sebagai sebuah bagianpenting dalam sejarah dunia dan sejarah islam.15

KESIMPULAN

Sebagai akibatnya, pada bagian kedua abad 16 dan era gemerlapnya pada bagian pertama aband 17 adalah sebuah pertimbangan, kesultanan Aceh Darussalam diterima sebagai bagian negara Islam di dunia pada masa ini. Walaupun fakta historis tentang kesultanan adalah penting untuk Sejarah Islam, hal tersebut telah menarik perhatian dari sarjana-sarjana muslim baik timur maupun barat yang pernah ataupun sudah sudah belajar tentang kesultanan ini. Pada sisi lain, walupun periode kemunduran pada abad 19th dan 18th,hal ini telah telah melanjutkan perjuangan dengan kekuasaan barat tidak hanya dalam bidang militer tetapi juga dalam bidang politik dan ekonomi. Tentang hal ni, dapat dikatakan bahwa Aceh adalah termasuk dalam agenda kekuasaan internasional yang diperebutkan secara terus menerus.

REFERENSI
1Daniel Perret, “Aceh as a Field for Ancient History Studies”, First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, 24-27 February, 2007, Banda Aceh, p. 1; Anthony Reid, “Introduction”, (Eds.), Anthony Reid, The Making of An Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Aristoc Press Pty, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton-Victoria, Australia, 1993, p. 3-4.
2Hee-Soo Lee, İslam ve Türk Kültürünün Uzak Doğu’ya Yayılması -Kore’de İslamiyet’in Yayılması ve Kültürel Tesirleri-, Türkiye Diyanet Yayınları, Ankara, 1998, p. 117.
3Anthony Reid, Charting The Shape of Early Modern Southeast Asia, Cornell University Library, Ithaca, New York, 1999, p. 39.
4Anthony Reid, “Introduction”, (Ed.), Anthony Reid, The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Aristoc Press Pty, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton-Victoria, Australia, 1993, p. 7.
5Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Sumatera, Penerbit Hasmar, Medan, 1975, p. 17.
6Hans-Dieter Evers&Anna-Katharina Hornidge, “Knowledge Hubs Along the Straits of Malacca”, Working Paper Series, Center for Development Research, Department of Political and Cultural Change (ZEF), Universitat Bonn, 2006, p. 6.
7E. Edwards McKinnon, “Indian and Indonesian Elements in Early North Sumatra”, (Eds.), Anthony Reid, Verandah Of Violence -The Background to the Aceh Problem-, Singapore University Press, 2006, p. 23; D. J. M. Tate, The Making of Modern South-East Asia, Vol 1, Oxford University Press, Revised Edition, Kuala Lumpur, 1977, p. 5; Anthony Reid, Charting The Shape of Early Modern Southeast Asia, Cornell University Library, Ithaca, New York, 1999, p. 40. Not: Sebagaimana dipahami dari orang-orang cina, pedagang-pedagang dari Negara ini mengexport barang-barang yang dihasilkan dari kekuasaan Negara romawi, mereka juga mengimport beberapa product berharga dari cina, patung Budha, Fahien, kunjungan ke pulau jawa, India dan Ceylon pada tahuan 413. beberapa orang Indian dan pedagang parsi mempunyai kapal pesiar mellaui lautan India ke lauta cina. See: W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia&Malaya -Complide From Chinese Sources-, C. V. Bhratara, Cakarta, 1960, p. 2-3.)
8Anthony H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”, (Eds.), yazarı belli değil, Indonesia, 1976, Cornell University Press, Ithaca, New York, p. 37.
9Anthony Reid, The Blood Of The People -Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1979, p. 1.
10A. H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Problems of Perspective”, (Eds.) C. D. Cowan ve O. W. Wolters, Southeast Asian History And Historiography -Essays Presented to D. G. E. Hall-, Cornell University Press, Ithaca, 1976, p. 306.
11Snouck Hurgronje, The Acehnese, Tr..: A. W. S. O’Sullivan, Vol 1, E. J. Brill, Leiden, 1906, p. 3.
12A. H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Problems of Perspective”, (eds.) C. D. Cowan ve O. W. Wolters, Southeast Asian History And Historiography -Essays Presented to D. G. E. Hall-, Cornell University Press, Ithaca, p. 308; W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia&Malaya -Complide From Chinese Sources-, C. V. Bhratara, 1960, p. v.
13Yusny Saby, Islam and Social Change -The Role of the Ulama in Acehnese Society, Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, 2005, p. 25.
14D. J. M. Tate, The Making of Modern South-East Asia, Vol 1, Oxford University Press, Revised Edition, Kuala Lumpur, 1977, p. 10.
15M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Serambi, Jakarta, 2004, p. 61. 

Hiç yorum yok:

Yorum Gönder