10 Aralık 2011 Cumartesi

Gambaran Singkat Perkembangan di Tunisia

Dr. Mehmet Ozay
Independent researcher
25 January 2011
Apa yang sedang terjadi dalam satu bulan terakhir di Afrika Utara, yang lebih dikenal dengan sebutan Maghrib dalam bahasa Arab merupakan sebuah pukulan besar. Pada faktanya, perubahan sosial ini secara revolusi memiliki kesamaan dengan benua Eropa. Kiranya, sebuah perubahan konstan secara damai lebih diharapkan daripada sengketa sosial yang merugikan tidak hanya dalam aspek materi tapi juga sumber daya manusia. Dalam artikel singkat ini, kita akan mencoba untuk memaknai perkembangan dari wilayah strategis yang pernah sangat berperan sebagai tempat transisi antara dua benua, Afika dan Eropa.
Secara historis, Tunisia adalah daerah yang dikenal sebagai bagian dari peradaban Mediterania sebelum keberadaan Kristen. Setelah Islam tersebar di Arab dalam periode singkat, pasukan garis depan Muslim menaklukkan seluruh bagian utara Afrika, Pulau Sisilia via Afrika Utara. Proses tersebut berlanjut hingga kependudukan muballigh Islam di Semenanjung Iber, Eropa barat-selatan yang merupakan sebuah daratan bagi orang-orang Portugis dan Spanyol hari ini.  Wilayah tersebut menjadi tempat bagi kesultanan-kesultanan independent sepanjang abad hingga Kekaisaran Turki Usmani membentuk hegemoninya melalui corsariars terkemuka yang secara berangsur-angsur mendapat peran di daerah-daerah kelautan kekuasaan Turki Usmani. Alasan utama Tunisia menjadi wilayah vasal Turki Usmani adalah berdasarkan kenyataan bahwa Tunisia tidak tunduk pada Kristen Eropa. Dalam sepanjang abad, beberapa peperangan laut  pecah hampir diseluruh bagian laut Mediterania yang dimaksudkan untuk menghalangi Kristen Katolik menyebarkan pengaruhnya di tanah-tanah suci Islam, seperti Jerusalem. Segera setelah era pax-Turki Usmani tertutup, Afrika bagian utara berada dalam jajahan penguasa barat, khususnya Itali dan Perancis pada abad ke-19. Pada abad ke-20, demi mencapai kemerdekaan jutaan Muslim kehilangan nyawa, tetapi pada akhirnya, orang-orang Afrika bagian utara memperoleh kebebasannya. Setelah hidup ratusan tahun sebagaimana bangsa-bangsa lain yang berada dibawah kekuasaan Turki Usmani, Tunisia terus mencari-cari administrasi politik yang adil sebagai bagian dari hak mereka. Bagaimanapun, para penguasa-penguasanya yang merupakan anak-anak warisan kolonialist  membentuk status quo mereka sendiri sebagaimana diketahui di hampir seluruh wilayah jajahan. Mereka menjalankan kepemimpinan berdasarkan rancangan-rancangan dan proyek master kolonialist yang tersebar dalam setiap aspek sosial, ekonomi, dan khususnya, politik. Untuk memperoleh kenyamanan dan hegemoni, mereka lebih memilih untuk memelihara hak demokrasi hanya untuk diri mereka sendiri daripada memberikan kebebasan untuk rakyatnya. 
Pada hakikatnya, Perang dingin berakhir pada tahun 1991 setelah negara-negara Eropa bagian timur seperti Chechoslavakia, Polandia, kemudian negara-negara Sentral Asia seperti, Kazakhistan, Azarbycan, yang dikenal sebagai negara-negara satelit  Uni Soviet mengalami pergerakan-pergerakan terhadap tuntutan kemerdekaan secara beriringan. Bagi beberapa negara, pergerakan tersebut dianggap sebagai sebuah bentuk revolusi, dan beberapa negara lainnya menerima peristiwa tersebut sebagai ‘Revolusi Velvet’ sebagaimana yang biasa dikonsepkan dalam terminologi politik.
Bagi negara-negara Uni Soviet lama, perkembangan tersebut diharapkan menjadi patron bagi negara-negara Islam yang membimbing pada kemampuan untuk memilih penguasa mereka sendiri dengan hak-hak demokrasi sebagaimana yang dipahami dalam konteks barat. Meskipun begitu, impian tersebut tidak terwujud melihat Saddam Husein di Irak dipilih oleh Amerika, Syria berada dalam proses perubahan sistem kekuasaan dan totaliter di bawah pemerintahan Bashar al-Assad, putra Hafiz al-Assad yang diingat sebagai penguasa terlama di dunia Arab, dan Mesir, salah satu negara tersulit dengan permasalahan kompleks dimana kekuatan barat telah mengatur dukungan untuk pemerintahan Mubarak setelah ia pensiun dari jabatan kepala tentara.   
Kini peristiwa yang sedang terjadi di Tunisia merupakan suatu pukulan yang mesti dipahami dengan baik tidak hanya oleh penguasa-penguasa di Arab tapi juga pendukung-pendukung mereka di pemerintaha barat. Peristiwa tersebut adalah suara masyarakat sipil seperti yang pernah terjadi ratusan tahunh yang lalu di Eropa, seperti Revolusi Perancis pada tahun 1789. Setelah Zainal Abidin, presiden Tunisia tidak diperbolehkan untuk menapakkan kakinya di Eropa dan ditolak di Perancis, Arab Saudi membiarkannya memasuki negara dengan status pengungsi politik. Bagaimanapun, salah satu ulama terkemuka di timur tengah mengkritisi rezim Saudi disebabkan kebijakan politik tersebut.
Hari ini, riot sipil tersebut adalah hasil tidak hanya dari ekonomi, tapi juga sosial, dan tekanan politik yang dilakukan oleh aparat pemerintah Tunisia. Kita bisa menyebut bahwa setidaknya beberapa negara Arab cukup mapan, meskipun begitu mereka tidak memiliki banyak hak untuk memasuki garis–garis negara-negara demokrasi barat. Bahkan, sebagian dari negara tersebut, seperti halnya Tunisia, telah melegalkan larangan-larangan terhadap ajaran Islam seperti mengharamkan pemakaian Jilbab di Publik yang dijadikan sasaran empuk untuk melawan pergerakan politik Islam. Namun sekarang siapapun dapat melihat, permainan tersebut sedang berputar balik. Silahkan perhatikan istri Zainal Abidin yang dengan terpaksa memakai jilbab di Arab Saudi.   
Sebagai isu terakhir, merupakan hal yang tak pasti apakah Tunisia dan kemudian masyarakat Arab lainnya mampu mewujudkan sebuah sistem demokrasi atau tidak. Saya berharap isu-isu yang terjadi di Aceh dapat dijadikan contoh. Tidak hanya dalam perjanjian damai tapi juga seluruh proses setelah MoU Helsinki, masyarakat Aceh, yang mampu mengubah dengan keinginannya sendiri, telah memberikan pelajaran yang baik tidak hanya bagi Asia Tenggara tapi juga seluruh negara Islam dan non-Islam. Masyarakat Tunisia sebaiknya tidak memalingkan kiblat mereka kepada negara barat, tetapi lihat dan pelajari perkembangan demokrasi Aceh sebagai rekan sosial dan budaya mereka. 


Hiç yorum yok:

Yorum Gönder