9 Ekim 2012 Salı

Mengkritisi Artikel ‘Kesadaran Geographi Usmani’


Mehmet Özay                                                                                                                8 Oktober 2012

Perkembangan kesadaran terhadap wilayah otoritas Usmani hampir selalu menjadi topik yang menarik didiskusikan dalam berbagai karya ilmiah. Salah satu yang terkini diterbitkan di Journal of Ottoman Studies (Jurnal Kajian Usmani No.  XXXIX, 2012), di Istanbul ditulis oleh Pinar Emiralioglu. Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan dalam teks ini berkaitan dengan kesadaran teritorial dan pemahaman Usmani atas dasar buku ‘Book on China’, sebuah catatan perjalanan, yang disempurnakan oleh Ali Akber Khitayi pada 3 Mei 1516 di Konstantinople. Buku tersebut pada awalnya dimaksudkan untuk dipersembahkan kepada Sultan Selim I (1512-1520), tetapi karena berbagai alasan, buku tersebut akhirnya diserahkan kepada Sultan Sulaiman Al Qanuni, sang pencetus hukum yang Agung (1520-1566).

Tak perlu diragukan bahwa China dengan hak penuh telah diakui sebagai salah satu negeri berperadaban paling tinggi dalam sejarah dunia, baik dalam segi kebangsaan China, birokrasi, administrasi atau yang lainnya, yang berkembang di atas dasar kekuasaan turun-temurun  dari dinasti ke dinasti. Dan Ali Ekber Khitayi menonjolkan China dan tradisi bangsanya dan dasar-dasar hukumnya dalam buku tersebut dan menasehatkan model untuk kepengurusan negara Usmani kedepan. Sebagaimana yang telah diutarakan dalam artikel diatas, tampaknya tokoh intelektual politik Usmani, birokrats, dan pembuat keputusan menemukan bagian –bagian dari buku itu yang dapat dimanfaatkan dan dapat dipraktekkan sepanjang tahun-tahun kekuasaan Sultan Sulaiman. Meskipun tidak ada pertentangan dari emulasi tradisi China tersebut diatas, saya tidak begitu yakin tentang sikap penulis Pinar yang menekankan bahwa karya Khitayi merupakan penyebab besar akan munculnya ‘kesadaran geografi’ dan ‘ambisi imperialisme’ pada abad ke-16.

Mari saya terangkan secara singkat terkait, argumentasi yang kedua, yaitu, ambisi imperialisme. Konsep ini tidak bisa digunakan dalam kebijaksanaan Negeri Usmani, karena hal ini sangat berkaitan dengan pendekatan-pendekatan imperialistik yang tidak ditemukan dalam sejarah Turki Usmani. Karena ambisi imperialisme dominannya terhubung dengan kekaisaran-kekaisaran benua Eropa, sang penulis tampaknya telah dengan tidak sadar merefleksikan konsep ini terhadap Usmani secara khususnya.

Kekhalifahan Usmani, terutama setelah mengakhiri kerajaan Mamluk dan mengeggam hegomoni teritorial Tanah Suci, memiliki ketertarikan penaklukkan yang lebih besar terhadap negeri-negeri lainnya, termasuk China. Dan sekaitan dengan ini, China barangkali telah menjadi semacam contoh sebagai salah satu pemegang kuasa dunia. Meskipun begitu, lebih jauh dari kandungan buku Khitayi dan buku –buku lain yang senada, dalam kenyataannya, pendekatan yang paling konkrit yang telah dilakukan kesultanan Aceh pada abad ke-16 tidak bisa begitu saja ditiadakan. Selain itu, pendekatan ini harus dipertimbangkan dalam dua cara: a) dalam lingkup filosofi politik dan ideologi sultan-sultan Aceh; b) kontribusi terhadap terbentuknya kesadaran Usmani akan eksistensi dunia Islam bagian timur atau geograpfinya, atau bisa juga sekaligus keduanya.

Dalam konteks ini, saya ingin menyorot aspirasi dan prinsip politik nyata kesultanan Aceh Darussalam sejak tahun-tahun kuasa ayah penemu (founding father), Ali Mughayat Shah Saya tidak mengatakan aspirasi dan prinsip ini hanya timbul pada masa Sultan terbesut itu. Meskipun begitu, tidak ada rekaman teks konkrit-sekurang-kurangnya dalam pengetahuan saya – kebijaksaaan ini merupakan kelanjutan dari kesultanan-kesultanan lain yang didirikan di bagian utara Sumatra. Dalam persoalan ini, dapat diakui bahwa kesultanan Aceh Darussalam telah mendemonstrasikan sebuah tradisi yang sudah terkonstruksi di sepanjang proses islamisasi dan keterlibatan politik negeri-negeri Islam terkait di Sumatra.

Hanya sekedar mengingatkan, ada baiknya untuk dikemukakan disini tentang bagaimana minat Usmani mulai merambah kepada kontak dengan Samudra Hindia. Mengenai hal ini, juga tidak jauh menarik jika disaksikan dalam rekaman-rekaman sejarah bahwa alasan-alasan keinginan Usmani tersebut timbul dikarenakan adanya persoalan faktor luar seperti monopoli Portugis di Samudra Hindia. Tidak diragukan bahwa Usmani memiliki visi sebagai pihak yang ‘diterima’ seumpama Negara yang protektif akan Islam dan muslim di geografi ini. Walaupun begitu, wilayah-wilayah dikepulauan ini tampaknya, dalam beberapa hal, secara terbatas berada dibawah kekuasaan elit Usmani dan intelektual politik hingga permulaan abad ke-16. Khususnya, pengaruh Portugis dalam hubungan perniagaan sepanjang Samudra Hindia mencakup geografi yang luas dimulai dari Afrika Timur hingga ujung Nusantara Melayu, termasuk kota kota pesisiran China yang tidak bisa diabaikan. Keberadaan Portugis membuat kita memikirkan pemahaman multi-lineal terhadap perkembangan-perkembangan seperti komunitas muslim dalam hal keterlibatan langsung mereka dalam hubungan dagang dan pelayaran-pelayaran ke Tanah Suci melewati Samudra Hindia, dan berbisnis via Samudra mencapai pesisiran Eropa melalui kota-kota Mediterania dan lain sebagainya. Ketika perkembangan semacam ini berlangsung, ada berbagai ukuran kesultanan Islam dan kota-kota tanpa daya sebagaimana yang sering kali disebutkan  dalam karya karya ilmiah barat, memohon dengan sukses bantuan dari Konstantinopel untuk mempertahankan posisi mereka di depan penjajahan Portugis.

Diantara tuntutan tersebut, kesultanan Aceh Darussalam tampaknya berada dalam pertimbangan tersendiri disebabkan oleh letak geografinya yang penulis debatkan telah mengadakan pembentukan semacam persepsi global akan hegemony dan legitimasi territorial Usmani di Samudra Hindia. Lebih jauh lagi, permintaan orang Aceh tidak berkembang secara kebetulan, sebaliknya sangat hati hati terstruktur sebagai representasi konkrit kesadaran ideologi dan politik Aceh yang menjadi bagian dari persatuan Islam global sebagaimana disaksikan dalam prinsip-prinsip hubungan internasional yang dipenakan oleh Sultan Aceh yang pertama.[1] Sekaitan dengan ini, saya ingin menonjolkan juga bahwa kesadaramn geografi elit-elit politik Aceh  tidak dibatasi dengan Selat Melaka saja, sebaliknya memanjang tidak hanya sampai ke pusat politik-agama duani muslim, katakanlah Konstantinopel, tapi juga hingga china yang sepanjang sejarah telah berpengaruh diseputar Samudra Hindia. Ini disebabkan oleh kealamiahan kondisi geo-strategis tanoh Aceh yang menguat di Samudra Hindia dan dapat mengakses bagian timur dan barat samudra. Apa yang ingin saya sampaikan adalah elit politik Aceh memperkenalkan peripheri timur dunia Islam kepada Kekhalifahan Usmani dengan mengirim utusan-utusannya secara berkesinambungan pada abad ke-16. Sepanjang interaksi langsung dan tidak langsung orang Aceh dengan kedaultanan politik di Konstantinopel membantu Usmani dalam mendefiniskan entity geografi di dunia Islam. Saya berargumen disini bahwa proses harus dipertimbangkan sekurang-kurangnya sebagai salah satu fase modernisasi kekhalifahan Usamani terutama dalam hal perkembangan kesadaran geografi. Lebih jauh lagi, perniagaan-perniagaan internasional Aceh diperkirakan telah mampu membangun sebuah mind-set untuk menyatukan filosofi politik Istana Turki Usmani.

Isu lain yang ingin saya timbang adalah bahwa, katakanlah permulaan abad ke-16 Piri Reis telah memproduksi atlas dunia pada tahun 1513 yang barangkali telah memasukkan pulau Sumatra dan dipersembahkan kepada Sultan Selim I selama masa jabatan perangnya melawan Mamluk pada tahun 1516 di Kairo. Selama itu, Sultan Selim I diharapkan telah memiliki sebuah ide tentang dunia-dunia bagian timur, tetapi interaksi konkrit dengan geografi ini dijalin dengan perniagaan-perniagaan politik sengaja oleh sultan-sultan Aceh. Untuk kalimat terakhir, biarlah saya tutup tulisan ini dengan sebuah pertanyaan. Jika kesadaran geografi Usmani dipengaruhi oleh karya Khatayi dan sebagaimana yang sudah saya kemukan mengenai pendekatan konkrit Aceh, bagaimana mungkin kita menemukan elemen Usmani di Pasai dan Melaka selama permulaan abad ke-16 seperti yang disebutkan dalam sumber-sumber Portugis?. Saya berharap mampu menemukan jawabannya dalam tulisan-tulisan anak negeri lainnya.

http://www.acehindependent.com/2012/10/08/mengkritisi-artikel-kesadaran-geograpfi-usmani/



[1] Sumber ini bisa didapatkan dalam berbagai buku karangan Prof. Ali Hasjmy. Jika ada kalangan yang menolak akan keilmiahan buku-buku beliau, maka itu menjadi tugas kalangan tersebut untuk menemukan secara ilmiah bagaimana beliau memngembangkan ide seperti ini dalam buku-bukunya. 

Hiç yorum yok:

Yorum Gönder