1 Temmuz 2012 Pazar

Ide Ide Tentang Era Aceh Baru


Mehmet Ozay                                                                                                                 1 Juli 2012

Era baru Aceh telah bermula di Aceh. Zaini dan Muzakkir (ZIKIR) telah dilantik sebagai gubernur untuk periode 2012-2017. Periode ini tidak hanya penting untuk kehidupan sosial dan politik Aceh tapi juga untuk perkembangan daerah dan nasional Indonesia. Meskipun faktor terebut penting, ada yang tak kalah pentingnya yaitu, pendekatan global internasional. Jika anda bertanya apa buktinya, angka perwakilan tertinggi Uni Eropa saat pelantikan gubernur adalah salah satu pendapat saya. Angka tersebut dinyatakan oleh Menteri Dalam Negeri sendiri, Gunawan Fauzi. Amat disayangkan mengingat Negara Negara muslim baru mengenal Aceh setelah tsunami, tidak seperti Negara-negara Eropa yang telah lama merasai dengan keberadaan Aceh.

Mari kita pikirkan bersama tentang masa depan Aceh untuk lima tahun ke depan dibawah naungan ZIKIR. Meskipun ada berbagai persilisihan dan pertentangan pendapat selama masa pemilihan, sekarang waktunya rakyat Aceh diperlukan untuk bersatu sebagaimana Zaini telah menghimbau segala pihak untuk bersatu padu demi menciptakan kemajuan-kemajuan Aceh dengan menanamkan kembali semangat persaingan karena pada dasarnya hasil pilihan rakyat telah diputuskan. Namun itu tidak berarti bahwa kita akan mengabaikan perselisihan diantara kelompok tapi sebaliknya mengadakan rekonsiliasi melalui upaya dari intellektual, partai local dan nasional, pihak ulama, institusi masyarakat sipil, universitas, akademisi, dan masyarawakat awam. Saat saya menyaksikan permainan selama masa pemilihan kepala daerah, saya kembali teringat dengan apa yang terjadi di Aceh 200 tahun yang lalu. Sultan Jauhar Alam Shah dan oposisi secara keras menentang satu sama lain sehingga menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh manfaat dari kompetisi para kolonialis diperedaran Selat Malaka. Dan akhirnya, ketika Singapura muncul sebagai wilayah baru, Aceh telah kehilangan separuh besar inisiatif untuk bergelut sebagai bagian dalam catur dunia. 

Mari kita alihkan perhatian pada bagian praktik yangbisa kita lakukan sekarang. Sebagaimana ‘Aceh Baru’ merupakan produk MoU Helsinki setidak tidaknya dalam hal tertentu, seluruh kriteria yang tertulis dalam teks sebaiknya ditegakkan secara konkrit. Tidak seperti yang diperkirakan oleh beberapa pihak, MoU Helsinki tidak  hanya menutupi isu politik tetapi juga isu sosial, ekonomi, dan perkembangan budaya Aceh. Jadi bagaimana pihak intellktual dalam masyarakat Aceh dapat melewatkan kenyataan ini. Jika pelaksanaan MoU Helsinki dapat dijalankan dengan sukses, mengapa tidak Aceh menjadi model untuk wilayah-wilayah konflik lainnya di Asia Tenggara seperti Mindanao, Arakan, dan lain sebagainya.

Issue yang harus dipecahkan saat ini adalah bagaimana orang Aceh mampu menangani kemiskinan, buruknya system dan ketidakseimbangan keadilan, dan yang paling penting lagi adalah mengatasi penyebaran mental korupsi. Sebagaimana diketahui secara global bahwa korupsi adalah ibu pincangnya sistem sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Isu korupsi ini seperti yang telah saya sebutkan dalam artikel saya berbahasa Turki tidak datang dari orang Aceh sendiri tetapi lebih berasal dari faktor implementasi dari luar. Maka tanpa mampu menyelesaikan isu korupsi, hampir tidak mungkin rasanya untuk mampu mengatasi persoalan lainnya. Saya secara pribadi menganjurkan kepada pihak terkait untuk dapat mengorganisir seminar exclusive bagi segenap masyarakat di Aceh. Dan beberapa komite sebaiknya diwujudkan dengan melibatkan berbagai jenis profesi dalam masyarakat and follow up. Dan lebih baik lagi jika program ini diutamakan melalui pengaktifan nilai nilai shariah yang pada dasarnya tidak semata mata diikat dengan hukuman tapi lebih pada struktur pre-emptive action

Pihak berwenang shariah diperlukan untuk mulai menata kembali butir butir hokum bagi pelaku korupsi yang tidak hanya adil bila diberlakukan terhadap warga dengan nilai curian sedikit tapi juga adil bagi pelaku pencurian harta publik. Tentu kedua pelaku dalam hal ini tidak akan menerima hukuman yang sama. Mengapa kita larut dalam phenomena hukuman terhadap jilbab perempuan-perempuan Aceh yang hanya berujung pada pengolok-olokan terhadap kewenangan shariah. Inilah kesempatan Aceh untuk menjadi model bagi dunia dalam penumpasan korupsi secara Islami. Sebagaimana pimpinan Partai Islam se-Malaysia (PAS), Dato Seri Haji Abdul Hadi Awang berargumen bahwa  masyarakat non muslim akan bias menerima pemberlakuan shariah Islam jika segala sistemnya dapat dirumuskan secara adil. Dalam rangkan penyusunan langkah-langkah hokum shariah yang tepat, Segenap institusi, baik local, nasional, maupun internasional yang aktif menggerakkan program kemanusiaan di Aceh sebaiknya tidak dilewatkan oleh pihak komite dan penegakkan shariah. Di sisi lain, saya berpikir ketika Muzakkir manaf menyebutkan bahwa tugas awal yang harus ditangani adalah persoalan merosotnya moral dalam masyarakatAceh dan pentingnya keterlibatan dan keaktifan ulama untuk menggali akar persoalan moral tersebut telah menampakkan langkah awal yang baik untuk memulai pemerintahan 5 tahun kedepan.   

Perkara penting yang kedua adalah bagaimana mengaktifkan produk mentah Aceh seperti pertambangan, perikanan, pertanian dan agro business sebagai produk value-edit. Artinya, produk tersebut tidak hanya dapat dijual sebagai sumber alamai dengan harga terendah tapi juga dapat dijual setelah pengolahan dan harga menguntungkan. Produk ini dapat menempati posis yang kuat di Asia Tenggara dan pasar internasional jika dapat diimplementasikan dengan baik. Contohnya Singapura dan Malaysia mengimpor produk produk semacam ini ke Negara-negara tetangga. Di sisi lain, Negara-negara kaya teluk Arab tidak memilik produk semacam ini oleh karena itu impor dari negara lain sangat dibutuhkan. Pada dasarnya, Aceh sudah mempunyai potensi sumber produk, posisi geografi yang strategis, dan ikatan sejarah dengan wilayah tersebut. Kita tidak perlu menemukan Amerika kembali. Ada banyakmodel yang bias kita ambil dari sekeliling kita. Contohnya pada tahun 1970-an Tun Abdul Razak, perdana mentri Malaysia meberlakukan projek Felda yang terdiri dari pengolahan minyak kelapa sawit. Saat ini FELDA (Federal Land Development Authority) telah menjadi nomor satu di Asia Tenggara dan nomor dua dalam pasokan pasar global. Proyek semacan ini dioleh oleh agen agen pemerintah dan masyarakat sipil yang tidak memiliki tanah. Masayarakat tersebut dibekali hanya dengan sebidang tanah yang cukup untuk mengerakkan proses proyek. Tidak hanya pemerintah yang kemudian maju tapi juga masyarakat sipil. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah merangkul setiap ahli dalam bidangnya masing masing dan digabungkan dengan sumber daya manusia Aceh di lapangan. Cara yang sebaiknya dipilih adalah secara eklektik dan bukan bersifat hirarki karena pada dasaarnya Masyarakat Aceh lebih tahu bahwa mereka memiliki paradigm berbeda dari mereka yang pendatang.

http://aceh.tribunnews.com/2012/07/01/ide-ide-tentang-aceh-baru

Hiç yorum yok:

Yorum Gönder