25 Nisan 2020 Cumartesi

Saiful Mahdi dan Problem Sistemik / Saiful Mahdi and Systemic Problem https://rubrika.id/index.php/2020/04/25/saiful-mahdi-dan-problem-sistemik/

Mehmet Özay                                                                                                                        25.04.2020

Saiful Mahdi, dosen di Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh dijatuhi hukuman 3 bulan penjara dan 10 juta subsidier 1 bulan pada hari Selasa, 21 April setelah menjalani proses hampir satu tahun yang lalu. Meskipun begitu, advokat hukum Saiful Mahdi menegaskan keputusan hakim ini bukanlah akhir. Proses hukum berlanjut setelah naik banding.

Kasus ini bermula dari pendapat Saiful Mahdi di WA grup dosen-dosen Unsyiah yang beranggotakan lebih kurang 100 orang, soal kejanggalan perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Fakultas Tekhnik pada akhir tahun 2018 lalu yang disambut dengan laporan polisi atas tindak kriminal pencemaran nama baik oleh Dekan Fakultas Tehnik Universitas Syiah Kuala. Kasus WA ini dilaporkan dengan alasan melanggar UU ITE Pasal 27 ayat 3/2016.

Dalam proses hukum ini, terdapat kalangan yang menganjurkan perdamaian, seperti misalnya yang disampaikan oleh kementerian pendidikan tinggi. Ini buru-buru disambut dengan khabar bahwa Dekan menginginkan Saiful Mahdi yang meminta maaf. Apa yang dilupakan ketika upaya berdamai ini adalah timbulnya justifikasi superioriti satu pihak yang menjelaskan miskinnya sensor keadilan di negeri ini.

Kalangan yang menasehatkan damai antara kedua dosen ini nampaknya juga tidak mengerti budaya kolusi di kawasan ini. Damai antara dua pihak yang berseteru bisa diartikan oleh kelompok terlibat dalam bentuk yang lebih ‘kreatif’. Misalnya pembagian uang secara merata antara kelompok terkait, atau bisa juga dalam bentuk selipan prospektif perekrutan anggota dekat untuk CPNS dimasa yang akan datang!

Penolakan Saiful Mahdi untuk meminta maaf adalah acungan jempol. Karena kasus ini bukan didasari oleh hal personal seperti layaknya dua tetangga yang sedang adu kemarahan dalam sebuah kampong, melainkan proses perkembangan yang harus melibatkan profesionalisme.

Platform Whatssap/Pertemuan Senat

Common Sense (intuisi normal) adalah makna tersirat dari apa yang disampaikan secara implisit oleh Saiful Mahdi dalam teks WA-nya. Artinya, ia menegaskan apa yang dilakukan oleh pihak kampus bertentangan dengan fungsi kampus sebagai alat ukur ilmiah kriteria rasional. Problem sistemik ini sudah terlihat dalam perekrutan CPNS yang kandidat-kandidatnya sudah terlebih dahulu di ‘pesan’ dan pesan teks tersebut hanya bisa diakses oleh anggota-anggota kampus.

Dalam pesan singkat WA ini, ia mengeluhkan kemunduran kampus Unsyiah dari ‘sebelumnya berjaya yang kemudian memble’. Pernyataan ini merujuk pada ‘ketidaklayakan’ yang sudah mendalam. Dalam poin ini perlu ditanyakan apa yang terjadi ketika Saiful Mahdi menyorot isu yang mendebatkan suatu kejanggalan dalam perjalanan akademik kolega-kolega kampus tersebut.

Pencemaran nama baik, bentuk kriminal yang coba dijatuhkan pada Saiful Mahdi sama sekali tidak patut karena teks WA Saiful Mahdi tidak menyebut nama personal. Ketika ia dihadapkan dalam pertemuan senat pun, jika keluar nama-nama tertentu, ini tidak bisa diambil sebagai upaya mencemarkan nama baik.

Pencemaran nama baik melibatkan penyebutan nama individual dan tuduhan criminal kepada publik yang tidak dibatasi oleh dinding WA dan pertemuan internal. Pendapat senada yang juga disampaikan oleh ahli bahasa, Totok Suhardijanto.

Persoalan utamanya adalah interpretasi WA oleh Dekan Fakultas tersebut. Artinya ia berpikir pendapat dan kritik dari WA tersebut hanya ditujukan untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, ada semacam ketakutan yang tampaknya belum dimengerti publik menyebabkan ketergesaannya untuk melaporkan Saiful Mahdi pada otoriti hukum.

Presentasi Pendapat Ahli  

Para ahli menyimpulkan keputusan yang dikeluarkan hakim tanggak 21 April itu sebuah kesalahan. Salah satunya, ahli hukum yang berkontribusi pada persetujuan UU ITE, Prof. Dr. Henri Subiakto mengatakan bahwa pasal 27 ayat 3 tidak bisa menjerat kasus ini. Dalam kondisi ini ada dua pilihan soal mengapa hukuman ini dikeluarkan.

Yang pertama, sebagimana yang dikatakan oleh Prof. Subiakto, hakim mengazaskan keputusannya dengan kesalahan interpretasi hukum. Sebagaimana dilangsir dari Habadaily, Ia mengatakan UU ITE pasal 27 ayat 3 ‘kerap ditafsirkan secara miring untuk menjerat pendapat orang lain’. Ia kemudian juga mengatakan bahwa pasal 310 (1) KUHP menjamin perlindungan bagi kritik-kritik didunia akademik.

Yang kedua, dibelakang layar, barangkali terdapat relasi relasi gelap yang memprioritaskan penjara tak hanya bagi Saiful Mahdi secara fisik tapi juga pikiran pikiran yang ia suarakan. Ahli lainnya, yaitu ahli bahasa, Totok Suhardijanto teks WA tersebut tidak menyudutkan dekan tersebut melainkan pendapat yang disampaikan secara umum.

Problem Sistemik

Hingga saat ini tidak banyak diketahui apa yang dimaksud dengan kejanggalan dalam teks tersebut. Namun jika anda ada dalam lingkaran pendidikan tinggi di Banda Aceh, maka dugaan pertama adalah seputar indikasi tindakan tidak benar seperti nepotisme, misalnya, yang dipercayai sering terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia umumnya, dan Aceh khususnya.

Sebagai sempat dipertanyakan kebenaran isi WA tersebut, laporan untuk penyelidikan lebih lanjut sama sekali luput terhadap pihak fakultas luput dari perhatian, sebaliknya telunjuk salah dipaksakan hinggap pada Saiful Mahdi atas tuduhan pencemaran nama baik.

Kasus ini yang telah berlangsung hampir setahun ini tidak hanya berangkat dari mempersoalkan kinerja etika dilingkaran perekrutan CPNS, tetapi juga dalam kurun waktu tersebut secara tidak langsung mempersembahkan dugaan keberadaan penyakit sistemik dalam tubuh pendidikan di Aceh. Lewat keputusan hakim pada tanggal 21 April lalu, menunjukkan bahwa persoalan sistemik ini yang kita bicarakan ini nampak nyata adanya.

Lebih parah lagi, berpendapat dari keterangan para ahli hukum, hukuman yang dijatuhkan atas pasal UU ITE tersebut diatas nampaknya adalah hasil dari penyalahgunaan kuasa oleh hakim.

Kasus pengadilan Saiful Mahdi bukan kasus antar individual melainkan kasus yang melibatkan perkembangan institusi-institusi pendidikan dalam beberapa tahun terakhir. Problem sistemik ini dapat dipantau dalam institusi publik, khususnya badan pendidikan tinggi di Aceh.

Oleh karenanya persoalan ini menyentuh hampir seluruh problematika sosial dalam masyarakat Aceh. Ulama, dayah, institusi pendidikan tinggi, badan sipil dan intelektual perlu mendirikan konsensus dalam hubungan-hubungan terkait yang hanya berdasarkan hak dan kebenaran secara demokrasi, yang ditinjau dari sudut mutu, keadilan dan lain lain, bukan sebaliknya hanya dibangun dari sudut dukungan dan kesetiaan pada satu jaringan kelompok struktural. 

Apa yang di sampaikan oleh Saiful Mahdi adalah tuntutan terhadap kebenaran-kebenaran itu demi keadilan bagi semua pihak.

https://rubrika.id/index.php/2020/04/25/saiful-mahdi-dan-problem-sistemik/

Hiç yorum yok:

Yorum Gönder