26 Nisan 2024 Cuma

H. Mohd Said & Keadilan Buruh

Mehmet Özay                                                                                                                            24.04.2024

Haji Mohammad Said (HMS) adalah seorang jurnalis dan intelektual mandiri yang dalam tulisannya banyak mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan peristiwa sejarah yang dahsyat, seperti buruh migran ke Sumatera Utara, perang Belanda di tanah Aceh, dan isu isu politik global. Saat saya mulai menggarap biografi HMS, pertanyaan awal saya adalah menjawab apa yang membuat HMS memutuskan menjadi jurnalis. Ini adalah tahap penting dalam penyelidikan saya. Seseorang seperti HMS, yang memiliki kiprah penting di bidang jurnalisme sebagai penulis, korektor, editor, dan pemilik surat kabar, pasti memiliki alasan yang memuaskan untuk bekerja di bidang ini sepanjang hidupnya.

Penjelasan pertama saya temukan dalam catatan memoarnya dan kemudian bab buku yang diterbitkan berjudul “Dengan Otodidak Mengemban Tugas Rakyat” dalam buku berjudul “Visi Wartawan 45” terbitan tahun 1992. Judul bab buku tersebut secara eksplisit mencerminkan niatnya dan alasannya memutuskan untuk menjadi jurnalis. Jelas sekali bahwa kepentingan utamanya adalah terbangunnya keadilan dalam masyarakat. Artinya, dia menugaskan dirinya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Setelah pertanyaan di atas, pertanyaan kedua adalah bagaimana HMS memperoleh kesadaran tersebut. Secara sosiologis, dapat dikatakan bahwa ia mengamati masyarakatnya dengan cermat. Ya, ini benar. Secara khusus, selama bekerja di pemerintahan Kota Pinang pada tahun 1920, ia menemukan beberapa permasalahan sosial, termasuk kondisi pekerja migran dan keterlibatan masyarakat lokal di sektor perkebunan. Maklum, secara tersirat ia memutuskan untuk mengadvokasi kelompok masyarakat yang terkesan tak berdaya di ruang publik tersebut.

Buruh dan Keadilan

Kehadiran mereka juga terlihat jelas seiring dengan peningkatan investasi perkebunan dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di Sumatera Utara. HMS mungkin pertama kali menemukan konsep ‘koeli’ dan terminologi yang relevan selama masa kecilnya di kampung halamannya. Pasalnya, Mohammad Yamin, wakil ‘Sarekat Islam’, mengkritik kondisi sosial ekonomi kelas pekerja saat itu. HMS berpesan agar kelas buruh yang bekerja di perkebunan di Sumatera Utara tidak bisa membela diri terhadap korporasi dan majikan. Hak-hak mereka dibingkai melalui peraturan ketat spesifik yang tertulis di kontrak mereka, yang ditandatangani pada tahap awal kerja mereka.

Proses ini juga menyebabkan munculnya kesadaran tentang perlunya keadilan di kalangan kalangan terpelajar, termasuk jurnalis dan kalangan sastra. Pengoperasian industri perkebunan dimulai pada paruh kedua abad ke-19 dan meningkat secara signifikan karena permintaan global terhadap produk berharga ini. Namun, beberapa ketidakadilan telah diterapkan oleh investor dan pemilik perkebunan terhadap karyawannya seiring berjalannya waktu. Hal ini menjadi fenomena sosial dan politik yang parah pada awal abad ke-20. Pemilik perkebunan Belanda merasakan keresahan di kalangan karyawannya, dan dia mengumumkan hal ini di beberapa surat kabar untuk mengambil tindakan menuju perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya berdasarkan kepentingannya.

Sumatera Utara terbagi antara penderitaan kelas buruh dan kesenangan investor asing serta kolaborator lokalnya. Peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan kolonial merupakan pelanggaran terhadap martabat kelas buruh. Kondisi kehidupan buruh tidak tertahankan dan diperburuk dengan penerapan Panai yang baru. Tema sentral penulisan HMS adalah pemahamannya tentang rezim kolonial melalui angkatan kerja dalam pepatah lain, Koeli Kontrak.

Namun mengenai proses ini, setelah beberapa waktu, ia menulis salah satu artikel pertama tentang “penderitaan petani, dan pekerja kontrak” (kuli kontrak) di bawah pengusaha asing pada masa kolonial. Sebagaimana yang diamati dalam tulisan HMS, terjadi kesalahan pengelolaan tenaga kerja yang bahkan sampai pada tingkat pelecehan terhadap pekerja kontrak yang mencari solusi nekat seperti melarikan diri dari asrama perkebunannya dan termasuk melukai staf administrasi kulit putih.

HMS berpesan agar kelas buruh yang bekerja di perkebunan di Sumatera Utara tidak bisa membela diri terhadap korporasi dan majikan. Mereka terikat pada peraturan ketat tertentu yang tertulis di kontrak mereka, yang mereka tandatangani pada tahap awal kerja. Munculnya usaha perkebunan yang disertai dengan perluasan dan perluasan wilayah negara-negara Eropa Barat menyebabkan dominasi ekonomi dan politik mereka sangat dirasakan oleh masyarakat adat. Proses ini menjadi media eksploitasi terhadap masyarakat adat karena mereka pada tingkat yang lebih kecil atau lebih signifikan dipaksa menjadi kelas buruh seiring dengan meluasnya dominasi Eropa.

HMS menganut sistem peradilan dan memiliki pandangan kritis terhadap kelompok, baik asing maupun pribumi, yang dianggap bertanggung jawab atas ketidakadilan yang terjadi di sektor perkebunan. HMS sangat tajam dan mengkritik keras sistem yang tidak adil pada masa maraknya tanaman ekspor pada tahun 1920-an melalui investasi besar-besaran di kawasan perkebunan pertanian sejak tahun 1920-an dan seterusnya—berkembangnya bisnis sistem perkebunan diberdayakan oleh kondisi kolonial, baik faktor internal maupun eksternal. Sejak saat itu, secara implisit (saya kira) dan secara eksplisit ia berusaha untuk berada di posisi yang benar dalam ‘justice penduyum’. Sepanjang tulisannya tentang berbagai topik, ia menyadarkan masyarakat terhadap isu-isu yang relevan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan saya pada karya-karya HMS juga penting untuk memahami bagaimana aktor-aktor sipil dan pejabat tertentu memicu perubahan masyarakat.

HMS berwacana tentang kondisi kerja kelas buruh. Baik pendatang dari jarak jauh maupun penduduk lokal di pesisir Sumatera Utara secara eksplisit berbicara mengenai perkembangan kesejahteraan mereka. Karena kemajuan, sebagai sebuah konsep baru, telah memasuki wacana sosial melalui media cetak dan surat kabar pemerintah, tidak ada segmen sosial yang bisa lepas dari dampak dan pengaruhnya. Sebagai seorang pengamat, HMS tentu menaruh perhatian besar terhadap kemajuan perusahaan dan karyawannya. Ia terikat erat pada jurnalisme dan memainkan perannya dalam memberikan kontribusi kepada publik melalui tulisan-tulisannya. Dalam hal ini, bisa ditebak bahwa orientasi intelektualnya adalah menjangkau masyarakat umum melalui jurnalisme, yang tampaknya sudah menjadi norma baginya.

Dengan Mata Hegelian

HMS merupakan kritik politik terhadap masyarakatnya yang dibentuk oleh kekuasaan kolonial. Saya mengusulkan untuk menamakannya “kondisi kolonial”, yang mencakup faktor internal dan eksternal. Ada yang berpendapat bahwa keseluruhan proses penulisan HMS merupakan hasil dari “kesulitan kolonial” (“meminjam dari Ann Kumar), sebuah fenomena dalam tahap perkembangan penulisan sejarah. Pemikiran dan tindakan HMS harus dianggap mewakili nilai-nilai. Dalam hal ini, kita dapat menegaskan bahwa -dalam cara Hegelian- kesadaran dirinya membantu pembaca untuk memahami semangat zaman itu -perjuangan kolonial melalui pemahaman HMS. Pendekatan ini, yaitu melihat perkembangan politik masa lalu melalui agen krusial yang spesifik, sangatlah penting.

Dari tulisan-tulisannya dan gambaran orang-orang yang tinggal di sekitarnya, diketahui bahwa HMS memiliki pikiran yang subur dan gemar membaca, belajar, dan menulis sepanjang hidupnya. Melalui Koeli Kontrak, HMS seperti beberapa intelektual lainnya menyoroti isu-isu hak asasi manusia, keadilan sosial dan menentang wacana kolonial, yang memungkinkan mereka mengembangkan wawasan politik dan sosiologis.

Judul bukunya yang mengacu pada persoalan kelas buruh di Medan (Deli) sungguh mencengangkan. Setengah abad kemudian, pada tahun 1977 melalui penerbitan bukunya, HMS meninjau kembali era buruh prakolonial yang mengambil tempat khusus di Medan. Judulnya memberikan sensibilitas terhadap isu tersebut, dengan menyebut masa tersebut sebagai “zaman kegelapan” karena aturan dan regulasi kolonial mengenai isu kelas buruh. Selain itu, praktik peraturan kolonial di bawah perkebunan swasta dan negara dianggap sebagai kondisi yang tidak manusiawi di Sumatera Utara.

HMS menyarankan perubahan substantif dalam sistem peradilan pemerintahan kolonial. Undang-undang perburuhan tradisional, yang ditetapkan oleh pemerintahan kolonial sejak tahun 1816 dan seterusnya, menciptakan lingkungan kerja yang padat karya. Hal ini sebagian besar merugikan kesejahteraan penduduk asli. Ada dua hal yang perlu diperhatikan: a) memanfaatkan tenaga kerja penduduk asli dan b) memanfaatkan tanah asli untuk memenuhi permintaan pasar global, yang secara historis jumlahnya terbatas di kawasan ini.

https://epaper.waspada.id/epaper/waspada-rabu-24-april-2024/ p. B3.

Hiç yorum yok:

Yorum Gönder