16 Mayıs 2014 Cuma

Perlunya Pengawasan Proyek Yatim di Aceh

Mehmet Ozay                                                                              26 Disember 2013

Peringatan tsunami yang ke-9 telah dilaksanakan. 9 tahun yang lalu, tidak hanya masyarakat Aceh tapi juga dunia dikejutkan dengan bencana alam ini. Walaupun begitu, pada masa yang sama bencana tersebut menuntun terwujudnya perdamaian di Aceh. Diantara waktu tersebut, kenyataan yang terjadi pada anak-anak yatim dan piatu, produk konflik sekaligus tsunami. Meskipun institusi-institusi lokal, nasional, dan internasional telah menggerakkan bantuan, salah satu di antaranya perlu lebih diawasi karena jumlah yatim piatu yang ditangani dan janji-janji kepada masyarakat Aceh.

Lewat tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk mengambil hikmah dan mempertanyakan tanggung jawab organisasi-organisasi kemanusiaan, baik yang swasta maupun pemerintah. Kita namai saja ia organisasi X untuk kemudahan penjelasan. Perkara yang akan dilibatkan disini adalah berdasarkan kesaksian dan peninjauan personal. Walaupun begitu keterangan yang akan saya utarakan tidak hanya terbatas disini. Selanjutnya, artikel ini dapat dimanfaatkan sebagai jurnalistik investigatif.

Sebagaimana Sekretaris Jenderal dan para utusannya untuk proyek anak yatim tsunami di Aceh-Indonesia pada tahun 2006, 2007, dan 2008 secara sukses telah menyorot proyek tersebut sebagai proyek ‘pilot’ yang menjadi model bagi organisasi-organisasilain yang menjalankan jenis programyang sama yang bergerak di geografi-geografi Islam rentan konflik di Afrika, Asia dan Asia Tenggara. Namun, pada realitanya, tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan program ini. Kegiatan ‘pilot’ seperti apa  yang dapat dipelajari dari upaya tersebut? Siapa yang mengepalai dan dalam bentuk apa proyek tersebut dilaksanakan? Pekerjaan akademik apa yang telah dilaksanakan untuk membuktikan kesuksesannya, kelemahannya atau kegagalannya?,dan pertanyaan serupa lainnya. Lebih jauh lagi, apakah kawasan-kawasan lain di Asia Tenggara seperti Moro/Mindanao, Patani, Papua, Timor Timur, telah diberikan perhatian yang layak oleh organisasi tersebut? Sementara itu,ketika organisasi X sedang berusaha menyamai peringkat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) selama ‘periode reformasi’ Sekretaris Jenderal, tidak ditemukan satu laporan ilmiah pun yang dilaksanakan dalam hubungan dengan program-program organisasi tersebut, khususnya proyek anak yatim tsunami.

Sudah saatnya untuk melihat dengan kritis kinerja proyek ‘pilot’ Yang bahkan setengahpun belum sumpurna dilaksanakanterhitung sejak bencana gempa dan tsunami pada akhir tahun 2004. Pendekatan kritis ini adalah upaya memenuhi keyakinan terhadap prinsip Islam. Apakah itu? ‘mengajak pada yang adil dan menjauhkan mereka dari yang jahat’. Pentingnya bersikap kritis tidak diragukan berhubungan langsung dengan dimensi profil organisasi tersebut diatas yang diperuntukkan sebagai alat untuk mempromosikan nilai-nilai Islam secara global, termasuk salah satunya lewat program ‘pilot’ yatim tersebut.Berdasarkan pemikiran kita, tiang yang paling penting dari dimensi ini adalah bahwa program tersebut diperkenalkan antara komunitas Muslim Asia Tenggara, yang telah sejak lama diremehkan karena beberapa alasan.

Hal penting lainnya adalah menegakkan program yang sama digeografi-geografi yang memiliki kondisi yang sama dalam aspek dampak konflik, bencana alam, dan lain sebagainya. Baik di Asia Barat, Asia Tenggara, ataupun Afrika. Dalam hal ini, yang paling harus diingat adalah mereka yang di Pattani di Thailand, Mindanao di Filipina, dan Rakin di Myanmar, disamping minoritas Muslim di Kamboja, Vietnam, dan Irian Jaya yang dikategorikan prioritas pendekatan kemanusiaan. Jika dilihat dari banyaknya kawasan-kawasan diatas, maka urgensi untuk mendirikan poyek yang sama di Sudan, Somali, Iraq, Syiria, Mesir, dan Afghanistan  jauh dari keadaan mendesak.

Pertanyaannya adalah sejauh mana markas pusat dari organisasi X ini terinspirasi oleh proyek ‘pilot’ yang dikerjakan di Aceh sejak tahun 2006 dan otoritas di Jeddah yang telah mengembangkan kegiatan yang sama dikawasan kawasan yang telah tersebut diatas.

Bagaimanapun, tidak dapat disangkal beberapa isu seperti kemiskinan, keyatiman, dan lain sebagainya- atau dalam kata pendeknya keseimbangan sosial- telah kita temui dalam kenyataan sosial Aceh, ditambah lagi dengan tekanan ikatan sejarah dengan Aceh-khususnya dalam konteks hubungan yang mengakar dengan beberapa negara- ‘akar’ yang terus dipromosikan sepanjang waktu secara konstan. Oleh Karena itu penting kiranya untuk mengetahui makna apa yang telah diciptakan lewat program yatim ini, yang diresmikan pada tanggal 12 Maret tahun 2007 dengan penunjukan seseorang oleh Deputi Sekretaris Jenderal ornganisasi Internasional tersebut. Proyek ini juga diluncurkan tidak hanya oleh institusi tersebut diatas tapi juga didukung oleh kontributor negara-negara donor termasuk Turki.

Saya pernah menulis sebuah artikel sebelumnya mengenai projek ini pada tahun 2008 dengan kacamata positif. Karena saya mengerti bahwa orang Aceh memerlukan proyek-proyek semacam ini untuk jangka waktu pendek ataupun panjang.

Kala itu saya melihat betapa penting untuk mendiskusikan proyek yang telah berjalan selama tujuh tahun di Aceh karena rancangannya yang mencapai 15 tahun dengan total anak yatim yang dibantu sebanyak 25.000 orang yang mencakup seluruh wilayah di Aceh. Proyek ini dibuat tidak hanya untuk medukung anak-anak yatim korban tsunami tapi juga korban konflik. Anda boleh mengambil tulisan ini sebagai bagian dari investigasi jurnalisme. Saya mengemukakan persoalan ini berdasarkan keterangan–keterangan dari pihak otoritas  institusi X dalam berbagai kesempatan yang saya percaya dapat menyediakan informasi yang sufisien mengenai kealamiahan proyek tersebut. Dan informasi-informasi semacam ini bisa dengan mudah diakses lewat penerbitan penerbitan media nasional dan lokal di Aceh dan Indonesia. Oleh karenanya tidak dapat disangsikan bahwa keterangan mereka menjadi kriteria objektif yang dipakai untuk menganalisa proyek pilot tersebut.

Signifikansi projek tersebut tidak jauh dari angka anak-anak yatim yang sudah dicanangkan dan durasi pelengkapan program. Sejujurnya, angka-angka tersebut terus menerus menjadi persoalan mendasar yang diajukan dalam setiap pertemuan internal resmi organisasi, termasuk Sekretaris Jenderal dan kepala utusannya yang membicarakan figur-figur tersebut dalam pertemuan dengan pihak otoritas di kegubernuran Aceh dan nasional seperti institusi-institusi kementrian Indonesia termasuk kantor kepresidenan. Pernyataan-pernyataan dari kedua pihak kemudian direkam oleh berbagai media lokal dan nasional, serta web-web dari institusi terkait.

Kabar-kabar media tersebut merupakan hal yang penting, apalagi media lokal, mengingat informasinya akan langsung disimak oleh penerima bantuan langsung dan orang orang Aceh, pihak yang paling dianjurkan untuk mengerti kelamiahan bantuan anak yatim tersebut. Terbitan surat kabar tersebut diantaranya: Serambi, 5 Desember 2006 dan 9 Juli 2008; “Harian Analisa” 6 Desember 2006; “Harian Aceh” 31 Januari 2008; “Rakyat Aceh” 31 Januari 2008. Tambahan lagi, beberapa organ media nasional seperti KOMPAS 7 Desember 2006; 25 Februari 2007; “Republika Online” , “Tempo Interactive” 14 Februari 2007; danterbitan penting lainnya’, agensi berita nasional Indonesia ‘Antaranews’, 14 Februari 2007; web Bappenas Aceh pada 15 Februari 2007. Inti dari semua penerbitan ini menjelaskan prospek menjanjikan proyek anak yatim tersebut. Dan kita sudah berada ditahun ke-8. Pertanyaan-pertanyaan mengenai sejauh mana proyek ini sudah dilaksanakan merupakan hal yang wajar dan termasuk mendesak. Apakah Anda pernah mendengar pernyataan-pernyataan tentang projek anak Yatim dari direktur institusi X di Banda Aceh atau otoritas pusatnyaatau pernahkan Anda menemukan sekilas keterangan atau laporan tentang data-data terkini yang melingkupi kondisi proyek tersebut hari ini?!

Disisi lain, kita punya hak untuk mendengar data perkembangan anak-anak yatim tersebut di wilayah Aceh. Contohnya di Aceh ada sekitar 120.000 yatim, berdasarkan data resmi pemerintah. Ada institusi swasta, negara dan individu bebasyang menangani bantuan anak yatim. Dalam hal kesejahteraan, pihak kegubernuran Aceh telah memberikan beberapa kontribusi pada tahun-tahun setelah penandatangan MoU Helsinki. Hal yang menarik adalah institusi X juga diminta untuk menaikkan jumlah benefisiaris dalam tahun-tahun yang telah diinisiatifkan pada masa PJ Mustafa Abubakar. Namun pihak berwenang dalam institusi tersebut menolak untuk bekerjasama sebagaimana yang telah ditawarkan oleh badan di kegubernuran Aceh.  Bagaimana bisa, walaupun data-data anak yatim telah tersedia melalui pemerintahan, institusi tersebut tidak bertindak sebagaimana sepatutnya? Maka tidak mengherankan jika institusi X tidak bisa mencapai angka anak-anak yatim sebagaimana yang telah direncanakan.

Lebih jauh lagi, sebagai projek pilot, ada sebuah isu yang tidak bisa dikesampingkan. Sebagaimana yang telah ditinjau dalam berita-berita yang diterbitkan dalam koran lokal pada  11 Juli 2008, Irwandi Yusuf, yang ketika itu menjabat gubernur Aceh meminta bantuan secara material dan non-material dari utusan Sekretaris Jenderal institusi untuk kesejahteraan sosial dan ekonomi eks-kombatan demi membuat mereka beradaptasi dengan kehidupan sipil. Permintaan ini tidak bisa diabaikan mengingat hal ini adalah salah satu batu tanjakan bagi masyarakat Aceh sekaligus langkah awal penegakkan MoU Helsinki yang menekankan bimbingan kepada eks-kombatan agar dapat beradaptasi dengan kehidupan baru melalui pengelolaan bakat dan prilaku, berdiri diatas kaki sendiri. Dan pada dasarnya, institusi X memiliki kapasitas untuk merealisasikan permintaan tersebut. Pun begitu, kedua utusan dan kepala direktur institusi X yang tinggal dan bekerja di Banda Aceh tidak memberikan perhatian terhadap hal ini. Padahal, institusi X, sebagaimana institusi lainnya, punya kesempatan untuk berkolaborasi dengan BRR atau BRA, badan pemerintah yang bisa memperlancar kegiatan ini.

Mehmet Ozay, pendiri Pusat Kebudayaan Aceh Dan Turki (PuKAT); sejak setelah tsunami 26 Desember 2004, secara rutin menulis artikel tentang Aceh yang dipublikasikan di media negara Turki; penulis buku ‘Kesultanan Aceh dan Turki – Antara Fakta dan Legenda, terbitan tahun 2013’.

Hiç yorum yok:

Yorum Gönder