18 Ağustos 2022 Perşembe

Mohd. Said Sang Patriot Pena

Mehmet Özay[1]                                                                                                                       18/08/2022

Hari ini adalah hari ulang tahun ke-77 Republik Indonesia yang tidak diragukan lagi merupakan titik balik dalam sejarah bangsa Nusantara. Banyak aktor-aktor penting dari berbagai lapisan masyarakat yang mengorbankan hidup mereka dan berkontribusi oleh profesi dan pengaruh mereka sendiri untuk tujuan kemerdekaan. Beberapa orang berkontribusi dengan berjuang secara fisik di lapangan, tapi ada beberapa lainnya berjuang dengan kualitas intelektual mereka melalui penyebaran ide melalui tulisan dan pidato mereka. Al-marhum Mohd. Said adalah salah satu figur contoh yang patut diperingati karena keunikan aspek kontribusinya terhadap jalannya kemerdekaan baik sebagai jurnalis maupun intelektual.

Dalam artikel singkat ini, saya ingin memperingati pentingnya seorang Mohd. Said dalam momentum kemerdekaan Indonesia hari ini yang bertepatan juga dengan hari jadinya yang ke-117, sejak dilahirkan pada tangal 17 Agustus 1905 di Labuhan Bilik, Kabupaten Labuhan Batu, selatan Sungai Panai. Tidak diragukan lagi bahwa kisah hidupnya perlu menjadi subjek penyelidikan akademisi secara lebih mendalam. Niat saya bukan untuk membahasnya dalam makalah yang sangat singkat ini. Tapi, saya ingin menyoroti beberapa aspek termasuk bagaimana saya menemukan nama Mohd. Said.

Bagi para pengkaji kemerdekaan Indonesia secara historis, Mohd Said dikenal sebagai sosok yang tidak memprioritaskan perjuangan secara fisik dalam medan tempur, tetapi lebih memilih berekspresi dalam praktik jurnalisme patriotic.

Karya jurnalismenya perlu dipertimbangkan sebagai bentuk perjuangan mencapai kemerdekan dari rezim kolonial, mengingat ia dilahirkan dalam ekosistem kolonial pada awal abad ke 20 yang mengembangkan kesadaran anti penjajahan dan para sekutunya. Hal ini barangkali diperani oleh kerapuhan lingkungan sosial-ekonomi dan sosio-politik dalam bentuk umum dan segmen lebih besar dari masyarakat Sumatra Utara. Oleh karenanya Mohd. Said menggunakan jurnalisme sebagai kendaraan untuk mengemudi kebijakan pro-rakyatnya. Ia menonjolkan persoalan keadilan yang absen dalam kebijakan-kbijakan pemerintah kolonial selama puluhan tahun sebelum Indonesia merdeka. Lewat karyanya yang mengangkat kesengsaraan kuli kekaisaran Belanda misalnya, kritik soal keadilan itu terlihat begitu jelas. Ia tidak memprioritaskan terjun ke medan tempur tapi lebih memilih mengkritik secara akal pikiran sebagai senjatanya yang terus meningkat tajam pada tahun 1930-1940an. Karya lainnya yang membuktikan pendirian patriotik intelektualnya itu juga tercermin dalam buku Deli Dahulu dan Sekarang, Koeli Kontrak Perubahan Pemerintahan (Bestuurshervorming), Aceh Sepanjang Abad, dan kiprah-kiprahya dalam koran-koran terawal pada masanya seperti Penjedar atau Oetoesan Sumatra. Mohd Said bagaikan mengajak pembaca untuk ‘menemukan kembali’ identitas hak masa lalu yang hilang.

Menemukan Aceh karena Mohd. Said

Saya bertemu dengan nama al-marhum Mohammad Said pertama kali di Aceh pada September 2005. Ini adalah tahun terpenting saya di Aceh mengingat imbas tsunami yang masih begitu terlihat. Saya adalah salah seorang pekerja sosial sekaligus peneliti. Diantara kesibukan lapangan dalam kegiatan bantuan kemanusiaan bagi korban tsunami, saya sering menyempatkan masa mengunjungi perpustakaan perpustakaan di Banda Aceh untuk memahami Aceh dan mengukuhkan pengetahuan saya tentang hubungan Turki dan Aceh.

Antaranya, Universiti Shah Kuala, perpustakaan IAIN Ar-Raniri (sekarang UIN Ar-Raniry) Pascasarcana dan Perpustakaan dan Museum Pribadi Ali Hasjmy terlihat punya koleksi yang menonjol. Bilangan perpustakaan yang ada begitu terbatas, kerana bangunan perpustakaan Pusat Dokumentasi dan Inventarisasi Aceh (PDIA) di Blang Padang dan direktorat kebudayaan negeri di Kampung Mulia, dekat Peunayong rusak berat akibat tsunami. Oleh kerana itu, tidak mungkin bagi saya untuk menemukan kajian-kajian mengenai hubungan Turki dan Aceh. Sebaliknya, pencarian saya menembus berbagai karya bertajuk sejarah Aceh secara umum. Begitu juga saya…

Menyadari bahawa jumlah karya yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dalam konteks ini hanya beberapa saja, saya harus kecewa. Namun kekecewaan saya berkurang setelah menemukan karya al-marhum Mohd. Said yang berjudul ‘Aceh Sepanjang Abad’ (1961). Buku ini memiliki dua jilid dengan total halaman yang mencapai 1500. Saya ingat begitu senang membacanya karena uraian dalam Aceh Sepanjang Sejarah ikut menyoroti hubungan Turki-Aceh. Sebagai kecenderungan alami minat saya pada topik ini dan demi menghemat waktu dalam memahami dua jilid karya ini, saya menumpukan fokus pada bahagian hubungan Turki-Uthmaniyyah. Dengan mempunyai sedikit pengetahuan secara umum membuat saya mengerti naratif dari sudut pandang Indonesia. Walau bagaimanapun, saya perlu menerjemahkan bab-bab ini ke dalam bahasa Inggeris, dan bantuan pelajar yang membantu saya pada masa itu masih begitu berharga.

Bagian awal yang paling mencolok adalah bahwa karya Mohd. Said memuat informasi yang sangat mendalam dan detail tentang sejarah Aceh. Walau bagaimanapun, menimbang prinsip ilmiah dari metodologi Barat yang digunakan, -bahawa hampir setiap detail disokong oleh rujukan-jelas menyebabkan saya membacanya secara komprehensif. Saya luangkan upaya untuk menguji kembali narasi perkembangan zaman itu dengan balik mengakses karya berbahasa Inggeris, Indonesia/Malayu dan Turki. Dengan begitu, saya mulai bisa menyusun aspek-aspek penting dari karya Mohd. Said yang hingga kini masih terbuka untuk pengkajian lebih lanjut.

Selain Mohd. Said, ada juga deretan kaliber para intelektual lokal di Aceh seperti Abu Bakar (Aceh), Yunus Djamil, Ali Hasjmy, Teuku Ali Basyha Talsya dll. Meskipun terdapat 'masalah metodologi' yang serupa dalam kajian nama-nama itu di mata kriteria akademis Barat, yaitu kedalaman dan aspek rinci dari studi yang diajukan terus terang menyebabkan saya mengkritik masalah metodologi ini sendiri. Perkara yang saya maksudkan disini bukanlah soal bahawa karya yang ditulis oleh penulis lokal tidak menyentuh subjek dalam konteks 'mitologi', yang bertentangan dengan apa yang dipercayai, tetapi penghayatan yang digunakan terutama terkait tradisi budaya lisan yang jelas tidak bisa diabaikan.

Ketika seseorang mengunjungi halaman-halaman awal dari buku yang disebutkan di atas, ia tentu saja akan menyaksikan apa yang ditekankan oleh Mohd. Said berkaitan dengan informasi secara rinci dan penting baginya untuk mengumpulkan data-data relevan lainnya tentang masa lalu historis wilayah tersebut.

Dengan mindset ini, saya menelusuri isi dan indeks untuk menemukan beberapa kata kunci yang relevan. Dalam hal ini, misalnya pasal 7 yang membahas tentang berdirinya Kesultanan baru di ujung utara Pulau Sumatera tampaknya cukup relevan.

Setelah awal saya tinggal di Banda Aceh, saya melanjutkan kegiatan penelitian saya yang berhubungan dengan daerah sekitarnya di tahun-tahun berikut dan saya semakin sering menemukan karya-karya lain Mohd. Said. Pada saat yang sama, rasa ingin tahu saya tentang identitas individu, latar belakang intelektual dan karya-karya Mohd. Said pun tumbuh lebih besar. Saya pikir, ini adalah waktu yang cukup penting untuk melakukan penelitian lengkap demi mendapatkan pengakuan tentang kehidupan intelektualnya. Melalui kesempatan ini saya berharap karya-karyanya diakui sebagai ujung tombak kemajuan masyarakat Indonesia dan semoga perjuangan pena dan pikirannya mendapat anugrah balasan yang setimpal dari Allah SWT.

https://waspada.id/headlines/mohammad-said-sang-patriot-pena/


[1]. Assoc. Prof. Dr.., ISTAC, IIUM (International Institute of Islamic Thought and Civilization, International Islamic University Malaysia. E-mail: mehmetozay@iium.edu.my; Orcid No: 0000-0002-2719-1543; http://www.researcherid.com/rid/S-5739-2017.

Hiç yorum yok:

Yorum Gönder