Menelisik Akar
Ideologi Kesejarahan[1]
Mehmet Ozay Nov 2015
Jika kita amati, kapanpun ketika
sejarah Aceh mewarnai percakapan-percakapan di warung kopi dengan teman-teman,
reaksi yang kita lihat dari orang Aceh adalah sikap yang defensif, terumana
dalah mempertahankan argumen bahwa Aceh dulunya adalah bangsa yang sukses. Meskipun
dalam satu sisi kenyataan bahwa sejarah Aceh adalah persoalan yang sangat
penting dan diminati oleh banyak peneliti dan ahli-ahli internasional adalah
hal yang tak perlu diragukan.
Aspek yang diminati oleh peneliti dan
ahli-ahli tersebut adalah meyangkut persepsi sejarah Aceh dengan kolonialisme,
dan dampaknya terhadap Aceh. Jika dikaji kembali, ini merupakan ruang lingkup
yang sangat berkurangan yang belum secara extensive dipelajari dan diteliti
oleh ahli-ahli dari pihak lokal sendiri. Dan kekurangan tersebut, saya pikir,
didominasi oleh kealpaan perspektif sosiologi (ilmu masyarakat) dalam menilai
kekuatan-kekuatan penjajahan.
Hal yang wajar ditanyakan apakah orang
Aceh telah memahami ideologi bangsa-bangsa penjajah. Pada titik ini, dengan
jelas saya ingin menonjolkan bahwa para intelektual dan tokoh-tokoh Aceh- baik
sekuler maupun tradisional belum menyentuh isu tersebut. Misanya, Portugis dan
secara prinsip, Belanda. Namun ada potensi besar untuk penelitian tentang
mengapa negara-negara Barat ‘mengunjungi’ teritori Aceh dalam beberapa periode
secara terus menerus. Ini mungkin bukan tugas yang mudah. Pertama-tama, tugas
ini membutuhkan analisa terhadapa fase perkembangan modernitas dalam
negara-negara Barat yang melingkupi periode sebelum ditemukannya dan selama masa modern.
Pada hakikatnya, kekuatan periode awal
kolonialisme dan periode akhir imperialisme menerjang Aceh dalam bidang politik
dan budaya. Dikarenakan hal ini, konteks Aceh dalam setiap aspek sosial masih
dipermasalahkan. Dan sangat disayangkan bahwa orang Aceh masih sedang mencoba
untuk memahami dengan kacamata orang luar, maksud peneliti-peneliti non Aceh,
kolonialis dan imperialis. Ketika orang Aceh mulai meneliti bagaimana memahami
esensi para kolonialis dan imperialis, maka kita bisa berbicara tentang
kemungkinan untuk memahami Aceh itu sendiri.
Pada pembahasan ini, yang perlu diingat
bahkan dalam satu kalimatpun, bahwa pihak-pihak luar yag tersebut diatas perlu
dipertimbangkan tidak sebagai pendatang-pendatang dengan meriam-meriamnya,
perdagangan dan misionaris tapi lebih dari ini, bahwa mereka juga perwakilan
dari sebuah dunia dengan kelas ideologi kapitalisme baik sebagai bapak pencipta
ataupun sebagai partisipan penuh. Inilah keadaan stagnan dalam ruang lingkup
akademia. Untuk lebih memahami apa yang
saya maksudnya, biarlah saya beri satu contoh. Hal yang mencerahkan jika kita
bertanya mengapa kelompok komunis atau orang-orang yang diklaim sebagai
pengikut komunis dihantui tidak hanya oleh aparat-aparat keamanan negara tapi
juga oleh komunitas Muslim yang seringnya dimobilisasikan oleh pihak pertama
untuk menghancurkan kelompok-kelompok tersebut di Indonesia atau ditempat lain
di berbagai kawasan pada era pertengahan abad ke-20. Pertanyaanya disini
adalah, mengapa kalangan Muslim tidak berusaha mengkritik aparat-aparat yang
berideologi kapitalist. Tapi
sebaliknya ideologi ini telah menemukan tempatnya diantara masyarakat Muslim. Yah,
pada akhirnya, kedua ideologi ini adalah produk modernisasi Barat yang telah
dimulai pada akhir abad ke 15 dan 16. Dan seharusnya kita melihat bahwa ada
sesuatu yang salah dengan pendekatan yang diberikan Muslim.
Saya ingat tulisan Muhammad Nur Djuli
yang terkini yang terbit beberapa saat yang lalu setelah konferensi
internasional yang diatur untuk peringatan proses damai Aceh yang dimuat oleh The Jakarta Post (24 Agustus 2015). Pak
Nur Djuli menggambarkan masyrakat Aceh dengan memberikan beberapa contoh yang
menunjukkan perjalanan transformasi Aceh dalam 10 tahun belakangan. Tapi
kemungkinan besar, tidak banyak pembaca-pembaca yang memperhatikan, tapi bagi
saya hal yang paling penting dalam poin-poin tersebut adalah ‘mall-mall baru yang penuh sesak’ yang
baru baru ini dibangun untuk ‘mengenyangkan’ pelanggan-pelanggan Aceh yang
‘kelaparan’ dengan cita rasa global. Lagi-lagi secara kontrast orang-orang
mungkin bertanya “apa yang salah dengan berbelanja di mall?”. Itu adalah poin baru
yang perlu dilakukan untuk sebuah kajian dan bahan- bahan diskusi umum.
Mari kita kembali ke isu utama mengenai
sejarah. Almarhum Ali Hasjmy yang tanpa diragukan diakui oleh keseluruhan
masyrakat Aceh, merujuk dengan bangga pada ‘sebuah kalimat’ dari Wilfred
Cantwell Smith, penulis Islam dalam sejarah Modern (Islam in Modern History).
Smith menulis “...Muslim-muslim pada masa ini ( Abad ke-16) merupakan
partisipan dalam sejarah perluasan dan penuh dengan kesuksesan.” (1957:
38). Ia melanjutkan dalam paragraph kedua dengan memberikan informasi pasti tentang
5 nama georgrafi Islam terkemuka, termasuk Aceh. Ya, Anda mungkin tidak akan
menemukan ekxpresi yang sama dalam tulisan ahli-ahli sejarah yang lain namun
ada rekaman yang tidak menampik hal itu. Tentunya menyenangkan dan begitu
memuaskan emosi yang membuat kita mengulang-ulang terus pernyataan ini dalam
percakapan-percakapan dimana saja. Akan tetapi, pembincangan seperti ini hanya
menghabiskan waktu sia sia secara disengaja ataupun tidak, jika kita memikirkan
bagian utama lain dari sejarah Aceh dalam artian diskusi seputar ‘sejarah
Portugis, Belanda, dan mungkin Inggris yang memiliki cukup petualangan dengan
Aceh dan orang Aceh secara khusus atau orang Melayu secara umumnya.
Namun kita tidak dapat membaca lebih
banyak dalam tulisan Ali Hasjmy tentang hal-hal yang sangat kritis diucapkan
oleh Wilfred dalam halaman yang sama. Wilfred mengatakan “ fakta yang lebih jauh adalah kesuksesan ini tidak
bertahan lama... berhidup pendek..dan menjelang abad ke-18 merosot dengan
serius”. Apa yang ingin ditekankan Wilfred terlihat dalam kutipan
berikut:”upaya-upaya intelektual terhenti. Sebuah dekade melelahkan yang
menginfeksi seni. Vitalitas agama surut.”
Ya, tidak diragukan realita memang
perlu diketahui dan direnungkan. Tapi itu tidak cukup. Sebaliknya perlu ada
upaya untuk memahami alasan-alasan yang disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal dalam abad-abad tersebut sebelumnya dalam sejarah Aceh akan mejadi
hal yang lebih efektif. Dalam hal ini,
secara umum, proses modernisasi yang diamati sejak abakd ke 15 dan 16 di Eropa
Barat adalah titik yang cukup problematik.
Saya katakan dengan sesungguhnya, Saya
tidak berharap banyak dari Melayu ‘lainnya’
tapi setidaknya saya ingin berharap bahwa beberapa dari orang Aceh dapat
menemukan jalan untuk mencoba memahami isu yang saya sorot diatas.
Jika proses modernisasi ini lahir dari
suatu tempat didunia dan pengaruhnya menyebar dengan begitu kuat maka itu layak untuk
dikaji. Proyek modernisasi adalah produk Eropa Barat. Dan sekarang meskipun
Amerika tampaknya paling unggul, ia berhutang pada fundamentalisme, filosofi, dan
praktek-praktek inisial dari negara-negara Eropa seperti Prancis, Jerman,
Inggris, Portugis, dan Belanda.
Intisarinya, saya ingin mengatakan
bahwa memahami kebalikannya, katakanlah disini, fundamental ideologi penjajah
Belanda dalam skala lebih besar akan menuntun kita pada pandangan baru dalam
sejarah Aceh.
[1]Khazanah
Pesantren, Badan
Pembinaan dan Pendidikan Dayah, Edisi 2, Tahun 2015, Banda Aceh, hlm. 60-1.
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder