Mehmet Özay
PENDAHULUAN
Wilayah Aceh yang terletak dibagian utara pulau Sumatra telah sekian
lama menjadi pusat kerajaan-kerajaan Islam jauh sebelum periode pre-Islam.
Jaman sekarang, Sebagai sebuah salah satu wilayah dari 33 provinsi Republik
Indonesia, Aceh merupakan lapangan penelitian penting sehubungan dengan posisi
sejarahnya pada masa lampau terhitung sejak Aceh diakui sebagai perwakilan
peradaban Islam di Asia Tenggara. Oleh karena itu peran Aceh tidak dapat
dikupas hanya dalam proses perkenalan Islam keseluruh wilayah. Bagaimanapun,
sejak wilayah tersebut berada diluar pusat kekuatan Islam yang utama (Timur
Tengah) Aceh tak dapat dikatakan tidak memiliki suatu nilai apapu untuk
dipertimbangkan sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh berbagai kalangan
dari negara-negara Islam atau para Akademisi luar negeri.1
Sebagaimana yang dapat dilihat di wilayah Asia Tenggara Aceh merupakan
tempat bernaung bagi kota-kota pelabuhan. Keberadaan kota-kota pelabuhan dapat
juga disaksikan sebelum periode Islam. Setelah beberapa waktu Islam muncul di
Timur Tengah. Islam telah diperkenalkan ke wilayah Asia Tenggara dengan para
pedagang dan ulama sebagai medianya, khususnya kalangan sufi. Oleh karena itu
karakteristik kota-kota pelabuhan tersebut mulai berubah dan secara
berangsur-angsur ciri khas islam pun tertanamkan.
Kesultanan Islam di wilayah Aceh- dimulai dari Peureulak, Langa, Daya,
Samudra Pasai, Darussalam, sampai Aceh Darussalam-, menjadi sebuah jembatan
antara bisnis perdagangan timur-barat dikarenakan letak geografisnya yang
strategis. Dikarenakan hal ini, kita semestinya mengambil kesimpulan akan
adanya hubungan yang dekat antara kesultanan-kesultanan dan bisnis perdagangan.
Seiring waktu, ratu-ratu kesultanan melibatkan kekuasaan mereka dari kegiatan
perdagangan didalam dan sekitar kota-kota pelabuhan.
Menurut dokumen-dokumen pada masa permulaan kota-kota pelabuhan
diwilayah Aceh merupakan antrepo yang sangat penting. Sebagaimana yang dapat
dilihat pada keunikan contoh kesultanan Aceh Darusalam, fungsi perdagangan kota
menjadi lebih penting, khususnya pada permulaan abad ke-16 ketika kegiatan
kolonialis barat yang sangat berpengaruh di seluruh Asia Tenggara.
Selepas Samudra India mengambil bagian sebagai sebuah perdagangan
jalur laut dimana Aceh merupakan satu interseksi yang dihasilkan dari rute
ladang perdagangan kuno melalui Asia Sentral antara timur-barat tidak.
Rute perdagangan tersebut yang lebih dikenal dengan sebutan Jalan
Sutra berada dibawah penguasaan pedagang muslin yang datang melalui Cina, Asia
Sentral, Iran, dan Timur Tengah yang kemudian digantikan oleh Samudra Hindia
sebagai sebuah jalan dagang alternatif dikarenakan permasalahan keamanan.2
Bisnis perdagangan ini yang berjalan antara Laut Merah Mediterania, Laut (?)
Khurmus, Selat Hindia, Selat Malaka, dan laut Cina tak hanya merupakan garis
pertemuan dari timur dan barat tapi juga sebuah wacana perubahan peradaban
kuno. Setelah hasil karya Fernand Braudel yang membuktikan laut memiliki banyak
fungsi untuk penjalinan kontak dan hubungan antara berbagai kebangsaan dan
budaya, dapat dilihat pula jauh dari wilayah perlautan Jawa dan Cina,
barangkali fungsi laut tersebut lebih banyak, barangkali fungsi laut tersebut
lebih banyak membuktikan bahwa laut telah berfungsi banyak untuk mempunyai
kontak dan hubungan timbal balik antar berbagai kultur dan kebangsaan, dapat
diakui juga bahwa di luar Jawa dan Laut cina, barangkali lebih dari lautan
indian telah berfungsi seperti ini telah mempunyai fungsi seperti pada Selatan
Timur Asia.3
Selat Malaka menjadi jalur laut penting diantara perdagangan east-west
menyebabkan negara di sekitar itu dijadikan sebuah negara antrepo seperti Laut
Mediterrenean dan jalan sutra. Daerah Aceh di bagian utara dari Pulau sumatra
menjadi suatu juncture(!) yang dikarenakan bisnis perdagangan berbagai pedagang
dari India, China dan Arap dari timur dan selatan kurang lebih 2000 tahun yang
lalu.4
Daerah aceh dahulunya adalah tempat pemberhentian pedagang-pedagang
india,5 di
samping berfungsi sebagai wadah bagi orang-orang Romawi yang sangat membutuhkan
product dari Cina seperti sutera dan cabai untuk tukar tambah bisnis juga
sebagai pengembangan bisnis pada daerah-daerah yang jauh di Asia timur. Hari
ini juga terlihat jelas dari beberapa bukti hubungan timbal balik seperti
beberapa data konkrit dan sisa bangunan di daerah tersebut. Sebagai contoh,
Mata uang roma (Koin), sebuah perunggu Lampu romawi ditemukan di Oc-Eo dan puri
Kancasa Tailand. Di samping itu, koin tembaga yang ditanggali mundur kembali ke
2nd, pada jaman Roma Kaisar Hadrian tidak begitu terbuka dengan daerah aceh.
Jika Naskah Cina sangat diperhatikan dan ditemukan sebagai acuan yang pertama
di Aceh agar dapat dimulai pada 1500 tahun yang lalu. Daerah ini tidak hanya
untuk perdagangan business internasional , tetapi juga dilihat di tiap-tiap
kota-kota perdagangan, daerah ini sangat diperhatikan sebagai daerah geografi
untuk mengembangkan budaya yang besar. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa
bisnis perdagangan telah berfungsi untuk mengembangkan budaya dan intelektual
di daerah.6
Dalam hal ini, menunjukkan bahwa betapa bisnis perdagangan mempunyai
peran penting sebelum dan sesudah Islam. Tidak terbatasnya interaksi antara
Barat dan Timur dalam perdagangan bahkan perdagangan telah mengarahkan
perkembangan budaya, intelektual (philosophical) dan religius. Selain pedagang,
pelancong, ilmuwan dari Arabia, Persia, Canton, Fujian, Yunnan, Hadramut,
Coromandel, Patani dan orang Islam lain, buddist, sarjana christian dan
confuiscian mempunyai pengaruh dalam sosial, budaya dan pengembangan ekonomi di
daerah ini 7
Islam juga merupakan phenomena terpenting melebihi dari perdagangan
dalam sejarah aceh. Dimana tempat-tempat aktivitas perdagangan luar negeri
dikembangkan juga merupakan rumah bagi beberapa agama dunia. Ini menunjukkan
begitu pentingnya peran pelabuhan kota besar pada waktu itu. yaitu pada abad
16th ketika kesultanan Aceh Darussalam sebagai penguasa regional, melihat
bertambah dan meningkatnya kekuatan perebutan kesultanan Aceh Darussalam dan
Bangsa Portugis dan meningkatkan bisnis perdagangan antara timur dan barat.
Dengan ungkapan lain, Islam yang diketahui hanya pada kelas menengah yang
mempunyai peran penting untuk menciptakan sebuah kelas baru, lingkungan sosial
yang aktif dan kehidupan yang religius.
Pedagang yang mempunyai prakarsa untuk memperkenalkan Islam kepada
penduduk pribumi di daerah tidak hanya tertarik untuk berbisnis dan berdagang,
tetapi juga mempunyai pengetahuan religius, terkadang disebut orang yang ahli
agama adalah sebuah tanda bagaimana pemhaman Islam bisa digabungkan kedalam
aspek ekonomi dan intelektual antara satu dengan yang lainnya.8
Bisnis perdaganagan adalah sebuah phenomena yang dinamis untuk bertahannya
sebuah negara yang baru ditemukan.
Terlihat pada masa Iskandar Muda, para penguasa kesultanan yang
mendirikan kota pelabuhan yang besar, terkadang mereka sendiri yang mengatur
bisnis perdagangan denga mengatasnamakan negara sekaligus mengatur bisnis
mereka dengan orang asing. Di samping pelabuhan kota, pajak yang diambil dari
pedagnag internasional adalah sangat penting untuk pendapatan negara.
pendapatan ini juga sangat penting untuk meningkatkan kekuatan angkatan perang
yang sekaligus juga digunakan untuk soveriegnas. Tentang ini, dapat dikatakan
bahwa pembuat kebijakan hukum itu harus berdasarkan kontrol bisnis perdagangan
di daerah.9
Untuk alasan ini, sebagaimana yang di kutip dalam sejarah aceh ketika pada era
perdagangan bisnis juga berjalan dengan kebijakan yang sangat sesuai dan
efisien secara kemiliteran dan juga aktif melawan kekuatan orang eropa. Sejauh
kontrol bisnis di pegang oleh sultan sebagai pemegang kekuatan sentral maka
secara kekuatan militer juga terdongkrak secara terus-menerus, Cukup kuat untuk
menaklukkan berbagai daerah dan merelisasi pengembangan sosial budaya. Meskipun
demikian, ketika sultan telah hilang kekuasaannya kemudian digantikan dengan
kesultanan bangsawan maka kemudian kekuasaan menjadi lemah secara
berangsur-angsur, juga sangat berdampak pada kedua aspek yautu politik
internasional dan domestik.
Referensi-referensi
tertulis tentang sejarah aceh
Dikarenakan masyarakat asia timur dan selatan secara umum telah
terbiasa didasarkan pada struktur sosial berorientasi desa/kampung dan dokumen
yang tertulis adalah jauh dari kepuasan bahkan hari ini study arkeoligis belum
dapat diselesaikan secara efisien hal ini sangat sulit dikatakan bahwa ada
banyak acuan tentang sejarah Aceh sebelum masa kolonialisasi.10
Bagaimanapun juga, kita harus menyebutkan catatan pelancong-pelncong
seperti Marco Polo (pada ujung abad 13), Ibni Battutah (abad 14) dan orang
barat yang sebagian besar pernah mengadakan ekspedisi dan peperangan dengan
negara kolonialis dimana negara tersebut sebagai negara tua rumah, khususnya
pada 16 dan setelahnya sebagai acuan utama sejarah aceh. Di samping
naskah-naskah Melayu yang mana memiliki campuran fakta dan cerita
legenda/dongeng, dan perkataan/percakapan naratif tradisional yang dapat
memberikan beberapa gagasan tentang proses sejarah tersebut.11
Disebabkan kurangnya sumber tertulis, khususnya informasi yang
berkenaan tentang sebelum kesultanan aceh sangat terbatas, sumber asli yang
paling awal dapat ditemukan adalah didalam hikayat raja-raja pasai dan beberapa
kaligrafi pada kuburan sultan samudra pasai di daerah pasai, aceh utara. hal
tersebutlah mengapa sukar sekali mendaptkan informasi tentang para penguasa-penguasa,
lembaga-lembaga dan beberapa sektor sosial pada masa kesultanan ini.12
Sampai pada masa penjajahan, permulaan abad 16,
kesultanan didiirikan di daerah yang di cirikan seperti kota dermaga. Diluar
samudra pasi dan peureulak yang sangat direferensikan oleh sarjana barat,
peneliti dan pelancong sebagai titik awal islam berada di daerah tersebut, para
sejarawan juga meneyebutkan enam kesultanan lainnya. Kesultanan kecil ini
didirikan sebagai sebuah hasil pengelopokan diantara Lingga, Benua, Pereulak, Samudra-Pasai, Pidier (pidie), daya, Lamuri dan Aceh Darussalam juga dapat di
sebut.13
Abad 16 mempunyai peran penting terbentuknya sumber-sumber tertulis
kedalam 2 arah. Pertama, pada masa ini dimulainya kolonialisasi yang telah
mempengaruhi daerah ini. Mereka datang tidak hanya berprofesi sebagai pedagang
tetapi juga pelancong dan sejarawan. yang kedua, beberapa anggota aliran sufi
seperti Naqshibendiyye, Shattariyye, Wahdet'Ul Wucud memberi arti penting dalam
menulis beberapa topik yang berbeda tentang sience islam. Semua sumber ini
memerikan detail informasi tentang latar belakang sejarah dan budaya di daerah
tersebut. Oleh karena alasan ini, maka kesultanan Aceh Darussalam dianggap
sebgai contoh unik di antara kesultanan yang telah disebut diatas. Semua
sumber-sumber tertulis telah memerikan sumbangan yang berarti hampir semua
aspek yang menyangkut permasalahan sosial dan politis pada masa Kesultanan Aceh
Darussalam. Nampaknya Kesultanan Aceh darussalam merupakan sebuah negara yang
penting yang mana telah tertulis pada akhir 500 tahun lalu dalam sejarah dunia
melayu. Jika kita mepertimbangkan kekuasaan keduanya baik Semenanjung Malaya
dan Pulau sumatra maka dipahami pentingnya geografi ini terutama sejarah daerah
dan sejarah dunia secara umum. Kerajaan Sriwijaya yang dimulai dari abad 7,
Majapahit dari abad 14, Malaka pada abad 15, Kerajaan Aceh Darussalam dan
Bantem pada abad 16 dan 17 adalah contoh kekuasan daerah yang yang
berurutan.14
Satu alasan yang
significant Aceh menjadi terdepan adalah keberhasilan yang lama memelihara
kemerdekaannya. Keistimewaan ini telah membuat perbedaan tempat diantara
daerah-daerah keuasaan lainnya selama ratusan tahun.
Pada abad 15 dan 16 Aceh juga penting untuk dipahami oleh
orang-orang eropa dan sejarah dunia pada beberapa aspect. Pada masa ini negara
utama di eropa memperebutkan keduanya satu dengan yang lainnya serta pusat
kekuasaan islam. Sebagaimana islam pada waktu itu terbentuk sebagai sebuah
kekuatan dunia, kelihatnnya diharuskan memiliki keterwakilan pada setiap
geografi/daerah. Perwakilan negara berada afrika utara, Timur Tengah, sub
perbatasan India dan Selatan Timur Asia. Kesultanan Aceh Darussalam merupakan
hal penting sebagai satu kekuasaan yang dinamis diantara negara di selatan
timur Asia. Dengan kelebihan ini Aceh harus dipertimbangkan dg seksama sebagai
sebuah bagianpenting dalam sejarah dunia dan sejarah islam.15
KESIMPULAN
Sebagai akibatnya, pada bagian kedua abad 16 dan era gemerlapnya
pada bagian pertama aband 17 adalah sebuah pertimbangan, kesultanan Aceh
Darussalam diterima sebagai bagian negara Islam di dunia pada masa ini.
Walaupun fakta historis tentang kesultanan adalah penting untuk Sejarah Islam,
hal tersebut telah menarik perhatian dari sarjana-sarjana muslim baik timur
maupun barat yang pernah ataupun sudah sudah belajar tentang kesultanan ini.
Pada sisi lain, walupun periode kemunduran pada abad 19th dan 18th,hal ini
telah telah melanjutkan perjuangan dengan kekuasaan barat tidak hanya dalam
bidang militer tetapi juga dalam bidang politik dan ekonomi. Tentang hal ni,
dapat dikatakan bahwa Aceh adalah termasuk dalam agenda kekuasaan internasional
yang diperebutkan secara terus menerus.
REFERENSI
1Daniel Perret, “Aceh as a Field for
Ancient History Studies”, First International Conference of Aceh and Indian
Ocean Studies, 24-27 February, 2007, Banda Aceh, p. 1; Anthony Reid,
“Introduction”, (Eds.), Anthony Reid, The Making of An Islamic Political
Discourse in Southeast Asia, Aristoc Press Pty, Centre of Southeast Asian
Studies, Monash University, Clayton-Victoria, Australia, 1993, p. 3-4.
2Hee-Soo Lee, İslam ve Türk
Kültürünün Uzak Doğu’ya Yayılması -Kore’de İslamiyet’in Yayılması ve Kültürel
Tesirleri-, Türkiye Diyanet Yayınları, Ankara, 1998, p. 117.
3Anthony Reid, Charting The Shape
of Early Modern Southeast Asia, Cornell University Library, Ithaca, New
York, 1999, p. 39.
4Anthony Reid, “Introduction”, (Ed.),
Anthony Reid, The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia,
Aristoc Press Pty, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University,
Clayton-Victoria, Australia, 1993, p. 7.
6Hans-Dieter Evers&Anna-Katharina
Hornidge, “Knowledge Hubs Along the Straits of Malacca”, Working Paper
Series, Center for Development Research, Department of Political and
Cultural Change (ZEF), Universitat Bonn, 2006, p. 6.
7E. Edwards McKinnon, “Indian and
Indonesian Elements in Early North Sumatra”, (Eds.), Anthony Reid, Verandah
Of Violence -The Background to the Aceh Problem-, Singapore University
Press, 2006, p. 23; D. J. M. Tate, The Making of Modern South-East Asia,
Vol 1, Oxford University Press, Revised Edition, Kuala Lumpur, 1977, p. 5;
Anthony Reid, Charting The Shape of Early Modern Southeast Asia, Cornell
University Library, Ithaca, New York, 1999, p. 40. Not: Sebagaimana dipahami
dari orang-orang cina, pedagang-pedagang dari Negara ini mengexport
barang-barang yang dihasilkan dari kekuasaan Negara romawi, mereka juga
mengimport beberapa product berharga dari cina, patung Budha, Fahien, kunjungan
ke pulau jawa, India dan Ceylon pada tahuan 413. beberapa orang Indian dan
pedagang parsi mempunyai kapal pesiar mellaui lautan India ke lauta cina. See:
W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia&Malaya -Complide From
Chinese Sources-, C. V. Bhratara, Cakarta, 1960, p. 2-3.)
8Anthony H. Johns, “Islam in
Southeast Asia: Reflections and New Directions”, (Eds.), yazarı belli değil, Indonesia,
1976, Cornell University Press, Ithaca, New York, p. 37.
9Anthony Reid, The Blood Of The
People -Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra,
Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1979, p. 1.
10A. H. Johns, “Islam in Southeast
Asia: Problems of Perspective”, (Eds.) C. D. Cowan ve O. W. Wolters, Southeast
Asian History And Historiography -Essays Presented to D. G. E. Hall-,
Cornell University Press, Ithaca, 1976, p. 306.
11Snouck Hurgronje, The Acehnese,
Tr..: A. W. S. O’Sullivan, Vol 1, E. J. Brill, Leiden, 1906, p. 3.
12A. H. Johns, “Islam in Southeast
Asia: Problems of Perspective”, (eds.) C. D. Cowan ve O. W. Wolters, Southeast
Asian History And Historiography -Essays Presented to D. G. E. Hall-,
Cornell University Press, Ithaca, p. 308; W. P. Groeneveldt, Historical Notes
on Indonesia&Malaya -Complide From Chinese Sources-, C. V. Bhratara,
1960, p. v.
13Yusny Saby, Islam and Social
Change -The Role of the Ulama in Acehnese Society, Penerbit Universiti
Kebangsaan Malaysia, Bangi, 2005, p. 25.
14D. J. M. Tate, The Making of
Modern South-East Asia, Vol 1, Oxford University Press, Revised Edition,
Kuala Lumpur, 1977, p. 10.
15M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern
1200-2004, Serambi, Jakarta, 2004, p. 61.
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder