Mehmet Özay 22.10.2024
Istanbul merupakan kota metropolitan yang menarik bagi
individu-individu tertentu seperti politisi, jurnalis-intelektual, cendekiawan
karena berbagai alasan pada paruh kedua abad ke-19. Di antara mereka adalah
tokoh-tokoh penting Ahmad Faris al-Shidyaq dan Abd al-Rahman al-Zahir.
Al-Shidyaq (1801/4-1887), seorang asal Katolik Maronit berkebangsaan Lebanon
yang masuk Islam selama berada di Tunisia pada tahun 1857 diundang oleh
penguasa Uthmani dan menetap di Istanbul antara tahun 1857 dan 1860. Dalam masa
itu, ia menjadi nama pelopor surat khabar bernuasa renaisans Arab, Nahda
(Kebangkitan). Dan al-Zahir (1833-1896), yang dianggap sebagai Perdana Menteri
atau “Maharaja Mudabbir’ul Malik’, “menteri dalam negeri pemerintah
Aceh” dan “wakil-i mutlak” Sultan Aceh sebagaimana tercantum dalam
dokumen arsip Uthmani melakukan dua kunjungan yang sangat penting untuk tujuan
pembangunan Aceh. Saya dapat mengatakan bahwa kepekaan budaya dan kecenderungan
politik mereka pasti telah menuntun mereka untuk bertemu langsung.
Tujuan al-Shidyaq adalah untuk meningkatkan kapasitas
intelektualnya, untuk berkontribusi pada kalangan ilmiah dengan menerbitkan
buku-buku sumber berbahasa Arab dan bekerja sebagai jurnalis melalui penerbitan
surat kabar berjudul al-Jawaib sesuai dengan afiliasi politik Uthmani.
Dalam hal ini, ia sangat produktif dalam kegiatan jurnalistik dan intelektual.
Dalam hal ini, tidak salah jika saya mengatakan bahwa ia memperoleh karier yang
gemilang. Al-Zahir tidak diundang oleh otoritas Uthmani tetapi dikirim oleh
elit politik Aceh ke Istanbul, mungkin untuk dua kali yaitu, pada tahun 1868
dan pada tahun 1873. Kunjungan pertamanya mungkin ke Jeddah untuk komunikasi
lebih lanjut dengan gubernur Uthmani pada tahun 1868 untuk memulai hubungan
sebelumnya dengan Istana Uthmani. Khususnya, kunjungan keduanya ke Istanbul
cukup lama yang diyakini telah memungkinkannya untuk berhubungan dengan
berbagai kalangan termasuk al-Shidyaq, saya percaya. Saya tegaskan bahwa
kehadiran mereka di Istanbul cukup berarti bagi jalannya gerakan reformasi Uthmani
dan hubungan internasional. Namun, saya tidak dapat membahas masalah ini dalam
artikel singkat ini.
Meskipun tujuan intelektual dan politik kedua pria ini
tampak sangat berbeda satu sama lain, saya tidak dapat memisahkan mereka dengan
mudah. Keduanya saling memberi arti dan saling mendukung dalam beberapa hal
atau lebih. Selain itu, tidak dapat disangkal bahwa kedua tokoh, yaitu
al-Shidyaq dan al-Zahir memiliki pengalaman luas hidup di geografi yang berbeda
dan melayani berbagai jenis orang. Al-Shidyaq bekerja untuk proses penerbitan
misi Protestan di Beirut, Malta dan London, dan menghabiskan beberapa waktu di
Paris dan Tunisia sebelum menetap di Istanbul. Ia menjabat sebagai
jurnalis-intelektual yang bekerja sebagai kolektor, editor dan penerbit pada
tahun-tahun antara 1859 dan 1887 di Istanbul selama pemerintahan Abdul Majid,
Abdul Aziz, Murad V, dan Abdul Hamid II di Negara Uthmani. Dimulai dari 31 Mei
1861 Ahmad Faris al-Shidyaq telah mengoperasikan al-Jawaib, surat kabar
berbahasa Arabnya. Dia tidak diragukan lagi merupakan salah satu individu yang
selama tahun-tahun itu dikenal di Istanbul karena produktivitasnya yang tak
henti-hentinya dalam jurnalisme dan intelektualisme. Energi dan hasil
intelektualnya didedikasikan untuk arah politik Uthmani dan kebangkitan Arab,
khususnya penyederhanaan Bahasa Arab dan menghidupkan kembali
manuskrip-manuskrip kuno. Yang terakhir ini sangat jelas dan membuatnya
terkenal di kalangan intelektual Arab setelah dia meninggal, karena banyaknya
lanskap intelektual bahasa Arab, buku-buku, dan manuskrip yang dia reproduksi.
Dan distribusi al-Jawaib mencapai pelosok-pelosok
dunia Muslim selama tahun-tahun itu dari Maroko hingga India. Jelaslah bahwa
surat kabarnya meninggalkan jejak abadi pada jurnalisme dan kehidupan
intelektual Uthmani. Selain itu, ia memainkan fungsi politik yang relevan
secara langsung atau tidak langsung dari apa yang disebut kebijakan Pan-Islam Uthmani
yang dimulai sejak masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz (1861-1876). Selain
menjadi aktor intelektual di Istanbul, al-Shidyaq dekat dengan tokoh-tokoh
politik yang memegang jabatan penting dalam birokrasi Uthmani. Namun saya tidak
mengamati bahwa ia memainkan panggilan politik selama tahun-tahun itu di
Istanbul. Sebaliknya, ia mundur dari dimensi politik seperti nasionalisme Arab
yang secara bertahap berkembang di Suriah dan Mesir dalam beberapa dekade itu.
Al-Zahir, seorang Hadhrami terpelajar dan seorang
perantau di Dunia Melayu, belajar di pusat-pusat pembelajaran Islam klasik
bekerja sebagai penasihat Sultan Abu Bakar dari Johor, selama satu setengah
tahun di Johor Bahru, melakukan kegiatan dagang di Penang, Singapura dan Pedir
sebelum ditugaskan untuk tugas mulianya di Aceh. Kemudian, ia menjabat sebagai
penasihat dan perdana menteri pada tahun-tahun antara 1864 dan 1878 untuk
sultan-sultan Aceh yaitu, Sultan Mansur Syah (w. 1870), Sultan Mahmud Syah (w. 1874)
dan Sultan Muhammad Daud Syah (w. 1939), penguasa terakhir Aceh sebelum ‘pensiun!’
ke Jeddah setelah ia menyetujui persyaratan yang ditawarkan oleh otoritas
Belanda. Al-Zahir telah mengaitkan dirinya secara aktif dalam politik Aceh
sejak kedatangannya di Banda Aceh pada tahun 1864. Dan sebagai cerminan dari
karakter politiknya yang kuat dan ambisius, ia mendapatkan kepercayaan dari
Mansur Syah. Dan itu diubah menjadi politik praktis di lapangan ketika ia
mengunjungi Istanbul atau Jeddah untuk berkomunikasi dengan penguasa Uthmani
pada tahun 1868 untuk pertama kalinya. Masalah apakah ia secara pribadi
berkunjung ke Istanbul pada tahun 1868 masih belum dapat dijelaskan. Namun,
kita memiliki cukup bukti bahwa ia tinggal selama hampir sembilan atau sepuluh
bulan pada kunjungan kedua yang dimulai dari akhir tahun 1872 atau awal tahun
1873 hingga musim gugur, yaitu September atau Oktober berdasarkan dokumen arsip
Uthmani, al-Jawaib, dan sumber-sumber Belanda di Batavia.
Ini adalah latar belakang kedua individu yang saya teliti
dalam hal komunikasi dan korespondensi mereka selama era Perang Sabil di Aceh.
Saya berasumsi bahwa komunikasi mereka sangat penting dalam hal penyebaran persoalan
kemanusiaan Aceh agar menjangkau berbagai geografi dan kaum berpengaruh yang
tinggal di berbagai belahan dunia Muslim. Namun, orang dapat menegaskan bahwa
proses ini mungkin telah memainkan lilin yang tertiup angin.
Diketahui bahwa redaksi al-Jawaib tidak mengetahui
perkembangan di Dunia Melayu hingga ia bertemu dengan Al-Zahir. Karena itu, al-Jawaib,
dalam edisi No. 637, dengan merujuk pada surat kabar Times, memberi tahu
para pembacanya tentang kasus Aceh di Sumatera. Dengan mengatakan bahwa
"sebuah cerita aneh dari Hindia Timur," redaksi al-Jawaib
mengungkapkan keterkejutannya tentang isu-isu di Sumatera. Disimpulkan bahwa al-Jawaib
tidak memiliki agen atau reporter di Penang, Singapura, dan Batavia untuk
menyampaikan perkembangan tersebut melalui kawat. Akan tetapi, selama hari-hari
itu, al-Shidyaq diberi tahu oleh utusan Aceh, yaitu al-Zahir di Istanbul dan
menerbitkan isu-isu tertentu di al-Jawaib. Orang dapat dengan tepat
bertanya apakah al-Shidyah kemudian mengembangkan komunikasi langsung melalui
kawat dengan 'Dewan Delapan' di Penang setelah ia bertemu dengan al-Zahir.
Secara materiil ada fasilitas dan seperti yang diamati dalam terbitan No. 641
di al-Jawaib, al-Zahir menerima telegram yang dikirim dari Penang. Di
luar publikasi ini, ada juga dokumentasi penting yang dipegang oleh otoritas
kolonial Belanda. Dan dokumen-dokumen kecil Belanda ini memberi tahu kita bahwa
beberapa individu di Jawa dicurigai sebagai pelanggan dan agensi al-Jawaib.
Saya berpendapat bahwa al-Shidyaq dikenal sebagai
wartawan dan penerbit terkemuka di Istanbul, bukan tidak mungkin ia bertemu
langsung dengan al-Zahir. Apakah komunikasi antara kedua orang ini pada tahun
1868 dapat dikonfirmasi lebih lanjut masih dalam penelusuran, mengingat beberapa
seri terbitan al-Jawaib pada tahun itu belum terjangkau. Akan tetapi,
jelas bahwa isu-isu al-Jawaib pada tahun 1873 memberi kita wawasan yang
cukup bahwa al-Zahir menyerahkan beberapa dokumen terkait diplomasi perang Aceh
kepada editor al-Jawaib. Meskipun al-Zahir, utusan Aceh tidak dapat
menemukan kesempatan atau tidak diterima secara resmi oleh istana Uthmani untuk
bertemu langsung dengan Sultan Abdul Aziz selama kunjungan keduanya, setidaknya
ia memiliki kesempatan yang lebih besar untuk bertemu dengan al-Shidyaq,
seorang wartawan-intelektual untuk menyampaikan sikap dan politik pertahanan
Aceh.
https://epaper.waspada.id/epaper/waspada-selasa-22-oktober-2024/
Waspada (Opini), 22 Oktober 2024, (Selasa), B3.
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder