27 Ekim 2024 Pazar

Dua pria terhormat di Istanbul: Al-Shidyaq dan Al-Zahir

Mehmet Özay                                                                                                                            22.10.2024

Di awal artikel ini, saya ingin menyoroti pertanyaan penting apakah dua tokoh Arab yang terkemuka di Semenanjung Melayu, bernama Ahmad Faris al-Shidyaq bertemu dengan Abd al-Rahman al-Zahir di Istanbul. Untuk dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan ini, saya akan mencoba menyelidikinya dengan menganalisis beberapa dokumen secara singkat. Hal ini penting tidak hanya dalam konteks kondisi politik selama tahun-tahun di akhir abad ke-19, tetapi juga akan mengungkap jenis komunikasi intelektual antara dua geografi, yaitu wilayah Uthmani dan Kepulauan Melayu.

Istanbul merupakan kota metropolitan yang menarik bagi individu-individu tertentu seperti politisi, jurnalis-intelektual, cendekiawan karena berbagai alasan pada paruh kedua abad ke-19. Di antara mereka adalah tokoh-tokoh penting Ahmad Faris al-Shidyaq dan Abd al-Rahman al-Zahir. Al-Shidyaq (1801/4-1887), seorang asal Katolik Maronit berkebangsaan Lebanon yang masuk Islam selama berada di Tunisia pada tahun 1857 diundang oleh penguasa Uthmani dan menetap di Istanbul antara tahun 1857 dan 1860. Dalam masa itu, ia menjadi nama pelopor surat khabar bernuasa renaisans Arab, Nahda (Kebangkitan). Dan al-Zahir (1833-1896), yang dianggap sebagai Perdana Menteri atau “Maharaja Mudabbir’ul Malik’, “menteri dalam negeri pemerintah Aceh” dan “wakil-i mutlak” Sultan Aceh sebagaimana tercantum dalam dokumen arsip Uthmani melakukan dua kunjungan yang sangat penting untuk tujuan pembangunan Aceh. Saya dapat mengatakan bahwa kepekaan budaya dan kecenderungan politik mereka pasti telah menuntun mereka untuk bertemu langsung.

Tujuan al-Shidyaq adalah untuk meningkatkan kapasitas intelektualnya, untuk berkontribusi pada kalangan ilmiah dengan menerbitkan buku-buku sumber berbahasa Arab dan bekerja sebagai jurnalis melalui penerbitan surat kabar berjudul al-Jawaib sesuai dengan afiliasi politik Uthmani. Dalam hal ini, ia sangat produktif dalam kegiatan jurnalistik dan intelektual. Dalam hal ini, tidak salah jika saya mengatakan bahwa ia memperoleh karier yang gemilang. Al-Zahir tidak diundang oleh otoritas Uthmani tetapi dikirim oleh elit politik Aceh ke Istanbul, mungkin untuk dua kali yaitu, pada tahun 1868 dan pada tahun 1873. Kunjungan pertamanya mungkin ke Jeddah untuk komunikasi lebih lanjut dengan gubernur Uthmani pada tahun 1868 untuk memulai hubungan sebelumnya dengan Istana Uthmani. Khususnya, kunjungan keduanya ke Istanbul cukup lama yang diyakini telah memungkinkannya untuk berhubungan dengan berbagai kalangan termasuk al-Shidyaq, saya percaya. Saya tegaskan bahwa kehadiran mereka di Istanbul cukup berarti bagi jalannya gerakan reformasi Uthmani dan hubungan internasional. Namun, saya tidak dapat membahas masalah ini dalam artikel singkat ini.

Meskipun tujuan intelektual dan politik kedua pria ini tampak sangat berbeda satu sama lain, saya tidak dapat memisahkan mereka dengan mudah. ​​Keduanya saling memberi arti dan saling mendukung dalam beberapa hal atau lebih. Selain itu, tidak dapat disangkal bahwa kedua tokoh, yaitu al-Shidyaq dan al-Zahir memiliki pengalaman luas hidup di geografi yang berbeda dan melayani berbagai jenis orang. Al-Shidyaq bekerja untuk proses penerbitan misi Protestan di Beirut, Malta dan London, dan menghabiskan beberapa waktu di Paris dan Tunisia sebelum menetap di Istanbul. Ia menjabat sebagai jurnalis-intelektual yang bekerja sebagai kolektor, editor dan penerbit pada tahun-tahun antara 1859 dan 1887 di Istanbul selama pemerintahan Abdul Majid, Abdul Aziz, Murad V, dan Abdul Hamid II di Negara Uthmani. Dimulai dari 31 Mei 1861 Ahmad Faris al-Shidyaq telah mengoperasikan al-Jawaib, surat kabar berbahasa Arabnya. Dia tidak diragukan lagi merupakan salah satu individu yang selama tahun-tahun itu dikenal di Istanbul karena produktivitasnya yang tak henti-hentinya dalam jurnalisme dan intelektualisme. Energi dan hasil intelektualnya didedikasikan untuk arah politik Uthmani dan kebangkitan Arab, khususnya penyederhanaan Bahasa Arab dan menghidupkan kembali manuskrip-manuskrip kuno. Yang terakhir ini sangat jelas dan membuatnya terkenal di kalangan intelektual Arab setelah dia meninggal, karena banyaknya lanskap intelektual bahasa Arab, buku-buku, dan manuskrip yang dia reproduksi.

Dan distribusi al-Jawaib mencapai pelosok-pelosok dunia Muslim selama tahun-tahun itu dari Maroko hingga India. Jelaslah bahwa surat kabarnya meninggalkan jejak abadi pada jurnalisme dan kehidupan intelektual Uthmani. Selain itu, ia memainkan fungsi politik yang relevan secara langsung atau tidak langsung dari apa yang disebut kebijakan Pan-Islam Uthmani yang dimulai sejak masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz (1861-1876). Selain menjadi aktor intelektual di Istanbul, al-Shidyaq dekat dengan tokoh-tokoh politik yang memegang jabatan penting dalam birokrasi Uthmani. Namun saya tidak mengamati bahwa ia memainkan panggilan politik selama tahun-tahun itu di Istanbul. Sebaliknya, ia mundur dari dimensi politik seperti nasionalisme Arab yang secara bertahap berkembang di Suriah dan Mesir dalam beberapa dekade itu.

Al-Zahir, seorang Hadhrami terpelajar dan seorang perantau di Dunia Melayu, belajar di pusat-pusat pembelajaran Islam klasik bekerja sebagai penasihat Sultan Abu Bakar dari Johor, selama satu setengah tahun di Johor Bahru, melakukan kegiatan dagang di Penang, Singapura dan Pedir sebelum ditugaskan untuk tugas mulianya di Aceh. Kemudian, ia menjabat sebagai penasihat dan perdana menteri pada tahun-tahun antara 1864 dan 1878 untuk sultan-sultan Aceh yaitu, Sultan Mansur Syah (w. 1870), Sultan Mahmud Syah (w. 1874) dan Sultan Muhammad Daud Syah (w. 1939), penguasa terakhir Aceh sebelum ‘pensiun!’ ke Jeddah setelah ia menyetujui persyaratan yang ditawarkan oleh otoritas Belanda. Al-Zahir telah mengaitkan dirinya secara aktif dalam politik Aceh sejak kedatangannya di Banda Aceh pada tahun 1864. Dan sebagai cerminan dari karakter politiknya yang kuat dan ambisius, ia mendapatkan kepercayaan dari Mansur Syah. Dan itu diubah menjadi politik praktis di lapangan ketika ia mengunjungi Istanbul atau Jeddah untuk berkomunikasi dengan penguasa Uthmani pada tahun 1868 untuk pertama kalinya. Masalah apakah ia secara pribadi berkunjung ke Istanbul pada tahun 1868 masih belum dapat dijelaskan. Namun, kita memiliki cukup bukti bahwa ia tinggal selama hampir sembilan atau sepuluh bulan pada kunjungan kedua yang dimulai dari akhir tahun 1872 atau awal tahun 1873 hingga musim gugur, yaitu September atau Oktober berdasarkan dokumen arsip Uthmani, al-Jawaib, dan sumber-sumber Belanda di Batavia.

Ini adalah latar belakang kedua individu yang saya teliti dalam hal komunikasi dan korespondensi mereka selama era Perang Sabil di Aceh. Saya berasumsi bahwa komunikasi mereka sangat penting dalam hal penyebaran persoalan kemanusiaan Aceh agar menjangkau berbagai geografi dan kaum berpengaruh yang tinggal di berbagai belahan dunia Muslim. Namun, orang dapat menegaskan bahwa proses ini mungkin telah memainkan lilin yang tertiup angin.

Diketahui bahwa redaksi al-Jawaib tidak mengetahui perkembangan di Dunia Melayu hingga ia bertemu dengan Al-Zahir. Karena itu, al-Jawaib, dalam edisi No. 637, dengan merujuk pada surat kabar Times, memberi tahu para pembacanya tentang kasus Aceh di Sumatera. Dengan mengatakan bahwa "sebuah cerita aneh dari Hindia Timur," redaksi al-Jawaib mengungkapkan keterkejutannya tentang isu-isu di Sumatera. Disimpulkan bahwa al-Jawaib tidak memiliki agen atau reporter di Penang, Singapura, dan Batavia untuk menyampaikan perkembangan tersebut melalui kawat. Akan tetapi, selama hari-hari itu, al-Shidyaq diberi tahu oleh utusan Aceh, yaitu al-Zahir di Istanbul dan menerbitkan isu-isu tertentu di al-Jawaib. Orang dapat dengan tepat bertanya apakah al-Shidyah kemudian mengembangkan komunikasi langsung melalui kawat dengan 'Dewan Delapan' di Penang setelah ia bertemu dengan al-Zahir. Secara materiil ada fasilitas dan seperti yang diamati dalam terbitan No. 641 di al-Jawaib, al-Zahir menerima telegram yang dikirim dari Penang. Di luar publikasi ini, ada juga dokumentasi penting yang dipegang oleh otoritas kolonial Belanda. Dan dokumen-dokumen kecil Belanda ini memberi tahu kita bahwa beberapa individu di Jawa dicurigai sebagai pelanggan dan agensi al-Jawaib.

Saya berpendapat bahwa al-Shidyaq dikenal sebagai wartawan dan penerbit terkemuka di Istanbul, bukan tidak mungkin ia bertemu langsung dengan al-Zahir. Apakah komunikasi antara kedua orang ini pada tahun 1868 dapat dikonfirmasi lebih lanjut masih dalam penelusuran, mengingat beberapa seri terbitan al-Jawaib pada tahun itu belum terjangkau. Akan tetapi, jelas bahwa isu-isu al-Jawaib pada tahun 1873 memberi kita wawasan yang cukup bahwa al-Zahir menyerahkan beberapa dokumen terkait diplomasi perang Aceh kepada editor al-Jawaib. Meskipun al-Zahir, utusan Aceh tidak dapat menemukan kesempatan atau tidak diterima secara resmi oleh istana Uthmani untuk bertemu langsung dengan Sultan Abdul Aziz selama kunjungan keduanya, setidaknya ia memiliki kesempatan yang lebih besar untuk bertemu dengan al-Shidyaq, seorang wartawan-intelektual untuk menyampaikan sikap dan politik pertahanan Aceh.

https://epaper.waspada.id/epaper/waspada-selasa-22-oktober-2024/

Waspada (Opini), 22 Oktober 2024, (Selasa), B3.

 

Hiç yorum yok:

Yorum Gönder