Mehmet
Ozay 09.09.2012
Saya tidak ingat dimana
saya melihat namanya pertama kali. Namun pastinya dari salah satu tulisannya di
perpustakaan Ali Hasjmy yang saya kunjungi pada tahun 2005. Baru kemudian saya
selalu mendapati namanya dalam berbagai buku-buku penting. TEUKU ISKANDAR. Dia
memainkan perannya dengan mengunjungi dan menemukan kembali sejarah Aceh
melalui karya-karyanya yang membumi. Saya tidak begitu tahu mengapa namanya selalumangingatkan
saya dengan sosok agung lainnya, Iskandar Muda. Mungkin secara implisit saya
mengira bahwa hasil-hasil tulisannya mencerminkan keagungan seorang Sultan
Iskandar Muda.
Nama Teuku Iskandar sudah selalu mengelilingi academia. Wajar jika dia mendapat
pengakuan sebagai salah satu pemikir terakhir tidak hanya bagi orang Aceh tapi
juga bagi dunia intelektual Melayu. Dia berada dalam generasiyang menyaksikan
peristiwa-peristiwa agung Aceh dimulai dari tahun tahun terakhir penjajahan
Belanda, pergerakan kemerdekaan, pembentukan indonesia modern, dan
Peristiwa-peristiwa Darul Islam. Jika kita ingin membandingkan akademik
karirnya, barangkali saya bisa menyebutkan bahwa dia berada sejajar dengan
Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas di Malaysia.
Meskipun tidak hidup di Aceh, dia telah mengkontribusikan kegiatan-kegiatan
akademiknya terhadap peradaban dan sejarah Aceh. Beberapa karya hebatnya,
Hikayat Aceh, Bustanussalatin, adalah sumber pribumi terkenal yang menarik
perhatian pihak-pihak terkait diseluruh dunia. Sebagai tambahan, dia juga
mengkompilasikan sumber sumber otentik Melayu dalam katalog seperti, Katalog
Manuskrip Melayu, Minangkabau, dan Sumatra Selatan. (1999, Leiden). Ini
merupakan pekerjaan yang menggunakan waktu lama dan menantang yang telah ia
lakukan selama dekade dekade awal ketika belum ada seorang pun yang meminati
sejarah Aceh. Satu isu paramon lainnya adalah ia juga mempenakan disertasi
PhDnya dalam bahasa Belanda ”De Hikayat Aceh” (1959, Leiden).
Karyanya telah diterbitkan dalam berbagai jurnal- jurnal penting dan rumah
publikasi seperti Journal of Malayan Branch of Royal Asiatic Society (JMBRAS),
Dewan Bahasa dan Pustaka (Kuala Lumpur), dan lain-lain.
Pertama kali saya berjumpa dengan beliau saat Konferensi ICAIOS yang sedang
mempresentasikan kertasnya berjudul “Aceh as a Muslim-Malay Cultural Centre
(14th – 19th Century)” dalam sebuah panel. Setelah itu saya mencoba menjangkau
beliau untuk sebuah interview. Dia menerima tawaran saya dengan rendah hati
dengan mengundang saya ke rumah salah satu kerabatnya di Darussalam pda sebuah
siang. Kita duduk di serambi untuk beberapa jam. Pembicaraan mengenai Aceh
menjadi isu yang begitu menyentuh. Bagaiamanapun, hingga hari ini saya belum
berkesempatan untuk mempublikasikan interview tersebut. Kaset tersebut masih
tersimpan dengan baik di Aceh.
Sebelum berbicara tentang interview ini saya
ingin mengutarakan tentang penampilannya selama konferensi. Dia diundang dari
Netherland dan selama sesinya, ia berbicara untuk lima belas menit sebagaimana
aturan biasanya. Meskipun begitu, yang saya temukan adalah kenyataan bahwa ia
begitu bersemangat untuk mendiseminasikan pengetahuan dan pemahaman sejarah
Aceh kepada audiensinya yang kebanyakan adalah orang Aceh. Tampaknya ia sudah
lama merindukan pendengar-pendengar Aceh yang telah kehilangan kontak dengannya
dalam waktu lama. Dia memegang segenggam kertas-kertas yang penuh dengan
tulisan dan mencoba untuk tidak melewatkan satu poin penting, dan membaca
dengan penuh semangat. Dia tidak hanya membaca dan membincangkan sejarah,
tetapi dia muncul dengan menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa masa lalu
dalam gedung konferensi. Akan tetapi, uraiannya dipotong oleh ketua panel
dengan tidak bijak. Dia sepatutnya diberikan kesempatan untuk berbicara dengan
bertatap muka dengan orang Aceh generasi muda dalam bahasa Aceh dan mencerahkan
mereka dengan pengetahuannya. Bagaimanapun, tidak ada kesempatan itu.
Kasihan!
Sekarang, ia sudah tiada. “Inna lillah wa inna ilayhi raciun”.
Mudah-mudahan Allah memberkatinya. Saya berharap dia akan dikenang oleh
generas-generasi muda Aceh sebagai salah satu intelktual sejarah Aceh yang
mengagumkan. Hidupnya dan karya-karyanya perlu dipelajari dengan baik sebagai
sebuah tanggung jawab dan karyanya patut dimasukkan sebagai kursus materi dalam
berbagai departemen bersangkutan di pendidikan tinggi. Dan karya-karyanya
dengan versi yang disederhanakan dipelajari dalam sekolah-sekolah menengah. Jika
Aceh ingin memiliki materi sekolah yang independen, bukankah sangat bermanfaat
untuk dimulai dari karya-karya original orang Aceh sendiri?. Ini tidak hanya
akan membawa Aceh pada sebuah image berbeda, tapi juga mengiring kelanjutan
komunikasi ureung tuha kepada
generasai muda.
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder