Mehmet Özay 11.07.2024
Al-Jawaib, salah satu surat kabar pionir berbahasa Arab
yang dicetak di İstanbul sebagai surat kabar mingguan -tetapi terkadang kurang
teratur- terbit pada tahun 1860 dari tanggal 31 Mei 1861 hingga tahun 1885; ini
adalah salah satu surat kabar paling awal yang didukung dan disubsidi oleh
pemerintah Uthmaniyah. Selain itu, Ahmad Faris al-Shidyaq, pemilik dan editor
surat kabar ini, diundang oleh otoritas Uthmaniyah untuk menjalankan jurnalnya
di İstanbul. Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa kemunculan dan proses
penerbitan al-Jawaib merupakan salah satu contoh unik pada paruh kedua
abad ke-19 dalam konteks masa reformasi dan modernisasi Daulah Uthmaniyah.
Faktanya, banyak topik yang perlu didiskusikan mengenai
pentingnya isi surat kabar ini dan sosok pencentusnya. Namun dalam artikel
singkat kali ini saya ingin fokus pada niat penguasa Daulah Utsmaniyah yang
diketahui mengundang Ahmad Faris ke İstanbul untuk meresmikan surat kabarnya.
Dapat dipahami bahwa al-Jawaib, yang berarti
‘menyebarkan berita’, menjadi alat untuk agenda politik global spesifik Daulah
Uthmaniyah di bawah pemerintahan Sultan Abdülaziz (1861-1876) dan Abdülhamid II
(1876-1909). Disini saya akan menceritakan secara singkat mengenai permasalahan
tersebut.
Kenapa Ahmad Faris?
Menurut saya lebih baik saya mengatakan sesuatu yang
konkrit tentang realitas surat kabar ini, pemilik serta editornya. Tidak ada
keraguan bahwa surat kabar ini telah mendapat tempat terhormat di antara surat
kabar Arab serupa dalam sejarah media. Tidak salah jika saya katakan bahwa
Ahmad Faris al-Shidyaq (1804-1885), pemilik dan editor surat kabar ini, semakin
terkenal dalam sejarah media. Ahmad Faris al-Shidyaq, pemilik dan editornya
semakin terkenal. Ketenarannya didasarkan pada standar intelektualnya dalam
filologi dan sastra Arab, dan ia pemikir Renaisans Arab (Nahda) yang
berpengaruh. Sebelum terjun di media cetak dan memulai korannya yang berjudul al-Jawaib,
ia terus-menerus bekerja untuk publikasi dakwah di Beirut, Malta, dan London.
Terdapat beberapa perselisihan mengenai kehadiran Ahmad
Faris di İstanbul. Misalnya, kapan dan bagaimana dia datang ke İstanbul? Apakah
inisiatifnya membuat dia menjadi jurnalist Arab pertama yang menetap di
İstanbul beberapa tahun sebelum tahun 1861? Atau kenapa dia lebih memilih di
İstanbul padahal tinggal di Eropa Barat, yakni di Inggris, lalu Prancis? Apakah
dia pertama kali menggagas surat kabarnya yang diberi judul al-Jawaib
dan menjadi cukup terkenal hingga menarik perhatian Daulah Uthmaniyah? Saya dapat
menambahkan beberapa pertanyaan lagi. Tapi itu saja sudah cukup untuk tulisan
ini.
Beberapa orang berpendapat bahwa dia bermigrasi dari
Eropa ke İstanbul, menetap di sana, dan memulai surat kabarnya. Beberapa yang
lain menyatakan bahwa Daulah Uthmaniyah mengundangnya dari Paris ke İstanbul
untuk memulai surat kabarnya. Jika saya menerima cerita pertama sebagai versi
sebenarnya dari cerita tersebut, saya kira dia menerima bantuan yang signifikan
dari komunitas Arab, yang kehadirannya cukup diketahui pada saat itu. Faktanya,
mereka adalah intelektual yang cukup berpengaruh, dan beberapa di antaranya
dipekerjakan oleh Daulah Uthmaniyah sebagai pegawai negeri, termasuk beberapa
pasha yang menduduki posisi menteri di pemerintahan Uthmaniyah.
Surat kabar berbahasa Arab di ibu kota Uthmaniyah
Mengizinkan dan mendanai surat kabar berbahasa Arab di
İstanbul merupakan pendekatan baru yang dilakukan para elit politik Utsmaniyah.
Ini adalah pendekatan baru pada era pemerintahan Uthmaniyah pada masa
Abdülmecid (1861). Ada beberapa usaha negara dalam bidang media cetak, seperti
yang terlihat dalam penerbitan Takvim-i Vekai (Kalender Acara), surat
kabar resmi pertama yang terbit pada bulan Juli 1831. Hal ini merupakan akibat
langsung dari agenda reformasi Sultan Mahmud II (1808- 1837), sebagaimana
dikemukakan oleh Ami Ayalon. Secara khusus, reformasi birokrasi merupakan prioritasnya
selama masa jabatannya. Takvim-i Vekai bertugas untuk tujuan ini. Ini
adalah media internal yang menyebarkan keputusan resmi, pengangkatan,
pergantian pemain, dan beberapa masalah pemerintahan lainnya, dan hanya
didistribusikan di antara kantor pemerintah pusat dan provinsi di seluruh
wilayah Uthmaniyah.
Sejak mencetak Takvim-i Vekai, dunia percetakan Uthmaniyah
berkembang secara signifikan melalui partisipasi dan investasi dari berbagai
kalangan, termasuk investor dalam negeri dan asing. Dalam hal ini, memang benar
bahwa kelompok minoritas non-Muslim di wilayah Uthmaniyah dan beberapa konsulat
Eropa, seperti Perancis, mengoperasikan media cetak mereka sebelum diinisiasi
oleh Negara. Misalnya, investasi resmi, seperti penerbitan kedutaan Perancis
‘Bulletin des Nouvelles’, dimulai pada tahun 1795 di İstanbul. Dan yang cukup
kontroversial, masyarakat mayoritas Muslim di Uthmaniyah harus menunggu
beberapa dekade untuk bisa bertemu dengan aparat modern ini. Tidak salah jika
saya berpendapat bahwa pemerintahan Uthmaniyah memonopoli media cetak selama
hampir lebih dari separuh abad ke-19.
Selama periode yang panjang ini, dan terutama setelah
tiga puluh tahun penerbitan Takvim-i Vekai, elit politik Uthmaniyah
dengan berani bekerja sama dengan seorang intelektual Arab untuk mencetak surat
kabar berbahasa Arab pada tahun 1861.
Agenda politik Negara Uthmaniyah
Sekarang saya dapat mengembangkan beberapa gagasan tentang inisiatif kerja
sama Daulah Utsmaniyah dengan Ahmad Faris al-Shidyaq untuk mencetak surat kabar
berbahasa Arab. Di sini, saya akan menyoroti kembali beberapa pertanyaan yang
saya yakini akan membantu kita memahami perubahan politik di Daulah Uthmaniyah
melalui media cetak. Misalnya, mengapa elit politik Uthmaniyah mengundang Ahmad
Faris al-Shidyaq dari Paris ke İstanbul untuk memulai sebuah surat kabar yang
disponsori oleh Negara?
Saya berpendapat pasti ada perbedaan alasan perekrutan
Ahmad Faris al-Shidyaq pada era Abdülaziz dan Abdülhamid II. Pada periode
pertama, Daulah Utsmaniyah berada di tengah-tengah masa Tanzimat
(periode reformasi) dan memerlukan banyak upaya untuk menggalakkan agenda
reformasi yang disebarluaskan melalui media massa, yaitu surat kabar. Namun,
Abdülhamid II memiliki pandangan berbeda tentang reformasi dan hampir menolak
melanjutkan proses yang setengah berhasil, yang memprakarsai kebijakan baru
seperti Pan-Islamisme. Meskipun Ahmad Faris al-Shidyaq menerbitkan al-Jawaib
dengan tuntutan pemerintah yang berpikiran reformis pada periode pertama, ia
pasti telah mengubah dan melayani kepentingan politik Abdülhamid II. Saya pikir
kebijakan penerbitan ini, yang diarahkan oleh dua penguasa Uthmaniyah yang
berbeda, tidak menimbulkan masalah bagi Ahmad Faris al-Shidyaq.
Al-Jawaib: alat propaganda modern
Sebagai perkembangan yang mencolok, surat kabar yang
paling berpengaruh dan populer dianggap dicetak dalam bahasa Arab di İstanbul
dan didistribusikan di berbagai wilayah geografis. Distribusi surat kabar yang
dicetak di İstanbul, seperti al-Jawaib, mungkin relatif lebih mudah karena
proyek infrastruktur tertentu telah dilaksanakan pada tahun-tahun awal era
Reformasi Tanzimat. Misalnya, seperti yang dinyatakan oleh Moshe Ma'oz, “Sistem
pos, yang pertama kali didirikan di bagian tengah Kesultanan Utsmaniyah pada
tahun 1834 dan kemudian direorganisasi pada tahun 1840, kemudian diperkenalkan
ke Suriah dan Palestina pada pertengahan tahun 1840-an dan melalui itu,
Istanbul dan pusat-pusat Suriah terhubung secara teratur, dan juga beroperasi
sekali atau dua kali seminggu antara kota Aleppo, Damaskus, Beirut, Tripoli,
Homs, Hama, Acre, Jaffa dan Yerusalem.” Selain itu, sistem telegraf yang
dibangun pada awal tahun 1860-an di Suriah tampaknya juga berfungsi untuk
mengumpulkan berita dari wilayah Arab.
Inisiatif ini memberikan wawasan mengenai fakta bahwa
elit politik Ottoman mempunyai kecenderungan untuk menggunakan media cetak
sebagai mesin propaganda modern. Proses reformasi baru yang dikenal dengan nama
‘Tanzimat’ tidak hanya sebatas mentransformasi birokrasi Utsmaniyah dan
mencakup lebih banyak upaya, termasuk dunia percetakan di wilayah Utsmaniyah.
Proses modernisasi ini tidak diragukan lagi merupakan hal yang umum dalam
kehidupan politik dan sosial Utsmaniyah. Jika kita mengingat bahkan lahirnya Takvim-i
Vekai merupakan produk akhir dari inisiasi reformasi Mahmud II seperti yang
diungkapkan Ayalon, maka alasan mengapa kalangan istana Ottoman menuntut
pendekatan baru untuk mensosialisasikan kebijakan reformasi melalui aparat baru
seperti surat kabar untuk menjangkau segmen yang lebih signifikan dari wilayah
kekuasaan Ottoman, khususnya yang berada di wilayah Arab.
Al-Jawaib menjadi terkenal di kalangan masyarakat Arab
dan sekitarnya, yaitu di Eropa dan India. Saya dapat menambahkan dunia Melayu
secara umum di sini. Al-Jawaib dilaporkan oleh penguasa Belanda di
Batavia yang mengumpulkan data secara menyeluruh dari konsul Belanda di
berbagai tempat. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa beberapa individu
yang tergabung dalam komunitas Arab di Penang, Singapura, dan Batavia
berlangganan jurnal ini. Dan mereka menerimanya secara teratur. Namun pada
tahap ini, saya harus berhati-hati untuk tidak melebih-lebihkan sampai saya
menemukan kenyataan yang dapat dipercaya tentang kehadiran al-Jawaib di
Dunia Melayu secara umum. Saya akan melanjutkan subjek ini dalam beberapa bulan
mendatang.
Waspada, 11 July 2024, Kamis, hal. A5.
https://epaper.waspada.id/epaper/waspada-kamis-11-juli-2024/
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder