Mehmet Özay 17 Februari 2013
Ketika saya
mengunjungi Jakarta untuk beberapa hari, tanpa disangka saya melewati Jakarta
yang banjir. Meskipun cuaca beratmosfer murung plus dengan penderitaan korban
banjir, saya mendapat undangan dari seorang akademisi senior Aceh untuk
menghadiri peluncuran sebuah buku di Universitas Nasional (UNAS) yang terletak
di Pejaten, Jakarta. Untuk memenuhi undangan tersebut, Saya datang lebih awal
ke lokasi kampus untuk sekedar penyegaran sambil minum kopi meskipun bukan kopi
Aceh.
Sebelum bertatap
muka secara langsung dengan pengarang buku, saya melihat figurnya yang
terpampang dalam sebuah banner di sekitar lokasi. Dalam banner itu tertulis “Nyak
Beurahim Utoh Perjuangan Panjang: Aneukmiet Gampong 80 tahun Ibrahim Abdullah”.
Saya mengerti nantinya kalimat ‘perjunagan panjang’ setelah saya mulai membaca
buku tersebut yang totalnya berhalaman 388 beserta gambar. Buku ini dipenuhi
dengan catatan memori dari gampong Blang Anoe ke Kuta Radja selama masa penjajahan
Belanda. Kemudian menapaki perjalanan ke Jakarta, Manila, dan New York yang
kemudian diakhiri dengan balik ke gampong halaman. Inilah perjuangan yang ril
jika ditilik dari umurnya yang sangat belia ketika memulai perjalananya yang
penuh dengan kebetulan-kebetulan manis dan pahit dan keyakinan yang diberikan
oleh Allah kepadanya.
Prof. Ibrahim
Abdullah merupakan sosok yang tidak berbeda dengan abangnya Abdullah Arif, yang
namanya menyertai halaman-halaman sejarah Aceh pada awal abad ke-20. Meskipun
tidak meninggalkan karya tertulis yang dominan, Ibrahim Abdullah telah
menancapkan kesan perjuangan praktikal yang begitu mendalam yang ia tuang dalam
buku otobiografinya tersebut. Sebelum mengenal Ibrahim, saya telah terlebih
dahulu bersinggungan dengan karya karya Abdullah Arif baik secara sengaja
diperpustakaan-perpustkaan ataupun secara kebetulan seperti buku-buku pantunnya
yang diserahkan oleh puterinya Dr. Salmawaty.
Sebagaiman
tertera dalam undangan saya tiba dengan tepat waktu di gedung yang dijanjikan.
Ketika memasuki ruangan, secara simbolik saya terperanjat mendengar lantunan
yang familiar, suara Rafli. Saya tidak ingat judul lagu yang dibawakannya tapi
apapun itu, mendengar dendangan Rafli saya seakan sedang berada di Aceh. Diantara
para hadirin yang menarik perhartian saya adalah sederetan senior elit Aceh yang
cukup dikenal duduk sedia dalam ruangan. Meskipun saat itu hari Sabtu mereka
tidak meninggalkan Prof. Ibrahim sendirian dan menghadiri acara tersebut secara
tulus jika dilihat dari konsentrasi mereka yang tidak teralihkan.
Orang pertama
yang saya jumpai adalah Dr. Kamal Arif yang sedang duduk di bangku depan.
Kemudian dia memperkenalkan saya pada pamannya, sang pengarang buku yang
usianya telah beranjak 80 tahun. Dia memiliki Kharisma yang kuat. Dengan
usianya yang lanjut, kesegaran jiwa dan kesadaran ucapannya masih tergolong sangat
muda, ditambah lagi dengan senyuman yang terus menyertai wajahnya. Perawakannya
sedang, berkacamata, berambut kelabu yang dikuncir dibagian belakang kepalanya.
Dia berpakaian jaket kotak kotak hitam putih blaze dengan syal yang melingkar
disekeliling lehernya.
Setelah pengenalan
singkat saya meninggalkannya meskipun dalam hati kecil saya ingin menjalani
percakapan yang panjang. Niat itu tak terlanjutkan karena kedatangan beberapa
orang Aceh senior yang menghampiri untuk menyapanya. Selain Dr. Kamal Arif, dalam
ruangan tersebut juga terlihat Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud, Prof. Dr. Nazaruddin
Syamsuddin, Farhan Hamid dll. Tentu mereka adalah orang orang yang dikenali
dengan mudah.
Acara ini
dimulai dengan diskusi antara dua orang dari UNAS dan seorang perempuan yang
menjadi moderator. Dari awal acara saya mendengar panggilan “Utoh” yang
ditujukan untuk Ibrahim. Saya bertanya dengan seorang perempuan yang duduk
disamping saya -kemudian saya ketahui adalah salah satu puteri kandungnya-
tentang arti dari Utoh. Dia menjelaskan Utoh berarti insinyur. Kemudian, dalam
bahasa Aceh sebagaimana yang tertulis pada halaman XX buku tersebut, Utoh
berarti Tukang. Mereka memananggilnya “Utoh Him” yang kemudian lebih sering
dipakai sebagai pangganti panggilan insinyur Ibrahim. Selama masa percakapan
dengan wanita tersebut, saya mengetahui bahwa Utoh telah melalui 8 kali
pernikahan dalam hidupnya. Tentu siapapun akan tersenyum melihat wajah terkejut
saya. Dia menganjurkan untuk membaca buku tersebut. Maaf, bukan maksud saya mendiskusikan
persoalan gender disini tapi hanya sekedar penambahan gambaran dari karakter
seorang Ibrahim yang luarbiasa.
Ibrahim telah
menyelesaikan program insinyur dan ekonominya dan sempat menjabat sebagai sekretari
Fakultas Ekonomi Unsyiah pada tahun 1960an. Ia kemudian melanjutkan pendidikan
multidisiplin dan menjadi dosen tetap di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNAS Jakarta yang sudah dimulai pada tahun 1982.
Diantara
sederetan catatan karirnya, terdapat beberapa posisi penting yang berkaitan
dengan perkembangan Aceh. Ia misalnya sempat menjadi pimpinan pelabuhan bebas
Sabang atau KP4BPS (komando pelaksanaan pembangunan proyek pelabuhan bebas
sabang) atas undangan Prof. Ali Hasjmy yang saat itu menjabat sebagi Gubernur
Aceh. Ia juga Mendirikan Institut Teknologi Sabang dan menjadi Kepala Dinas Perindustrian
pada tahun 1960an. Saat itu, ia telah bekerja dalam koordinasi yang mapan
dengan gubernur Aceh. Ibrahim juga menyumbang kontribusi yang signifikan dalam
pembangunan jalan raya dari Banda Aceh ke Sigli dan lain sebaginya.
Yang
menyenangkan dari buku ini adalah, diantara gambaran-gambaran pejuangan politik
sosial Aceh dan Java yang telah saya baca
dan dengar selama berada di Aceh, dia merupakan salah satu tokoh yang berada
ditengah tengah setiap peristiwa di Aceh. Seperti aliran-aliran peristiowa yang
menyertai Daud Beureueh, Soekarno, Ali Hasjmy, Mustafa Abubakar, Takdir Alisyahbana,
dan Hasan Muhammad Di Tiro...
Dia merupakan
seorang sejarah yang hidup dan aktif. Bukunya meskipun hampir 400 halaman,
wajib dibaca oleh anak-anak Aceh, baik tingkat menengah dan atas, intelektual, birokrat,
dan alumni-alumni dayah dan pesantren. Tidak hanya membaca sebagian sejarah
dalam mata seorang Utoh tapi juga belajar dari perjuangan hidupnya dan menjadi pelaku
utama dalam menentang kesulitan hidup.
Dalam persoalan
pembanguan Aceh, beliau mengucapkan bahwa pembangunan tidak mungkin terjadi
tanpa adanya pertumbuhan plus perubahan dan perubahan itu sangat jarang terjadi
tanpa adanya protes (hal. xxxi).
Sebagai seorang
non-Aceh, saya mendukung ucapan Dr. Kamal Arif dalam pengenalan yang ditulisnya
dalam buku tersebut “The man with
confidence in himself gained the confidence of others (Lelaki yang percaya
terhadap dirinya memperoleh kepercayaan dari yang lain)”. Merupakan hal yang
bermanfaat jika ia dapat diundang untuk berdialog seputar perjuangan hidupnya
selama 80 tahun terutama dikalangan pemuda-pemudi Aceh dan intelektual.
Beberapa poin
yang saya ingat dari bacaan saya tentang buku ini, salah satunya adalah
kedatangan bung Karno dalam rangka rapat dengan Abu Daud Beureueh di pendopo
kewedanan Bireuen. Hal lainnya adalah pertemuan dia dengan Hasan Di Tiro yang
ia sapa Cutbang. Hubungan mereka terjalain tidak hanya karena saboh gampong tapi juga berlanjut selama
keberadaannya di Amerika.
Hal menarik
lainnya adalah catatan beliau mengenai Hasan Di Tiro. Sebelum Ibrahim berangkat
ke New York, dia mendapatkan surat pernyataan penerimaan dari Universitas New
York melalui Abang Hasan Muhammad Di Tiro yang sedang bertugas sebagai konsulat
Jendral RI disana. Setelah berlayar dengan kapal, dia langsung mengunjungi rumah
Hasan Di Tiro di Manhattan. Secara jelas, dikarenakan hubungan yang dekat
dengan Hasan Di Tiro. Dia menjadi salah satu saksi utama perjuangan beliau
dalam meneriakkan hak-hak kemanusiaan Aceh, sejak insident tahun 1954 yang
berakhir dengan pencabutan Hasan Di Tiro dari posisinya sebagai Konsulat
Jendral RI. Sebelum pencabutan itu, Ibrahim telah mengingatkan Wali konsekuensi dari aksi tersebut yang
dijawab oleh Hasan Di Tiro dengan tekad yang bulat: ”Itu adalah resiko
perjuangan adoe meutuah (hal. 58)”.
Saya tidak akan
menceritakan seluruh pengalaman yang dialami oleh Ibrahim dalam bukunya. Namun
bacaan ini merupakan hal yang sangat efektif jika dilihat dari perspektif
pengarang, seakan menyaksikan sebuah teater hidup dari cerita tentang seorang
Aneukmiet dari Gampong Blang menuju timur dan barat. Saya percaya buku ini akan
menjadi sesi pembelajaran dan kesadaran yang baik bagi setiap kalangan Aceh.
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder