Mehmet Özay 15.05.2023
Hari ini adalah
peringatan 28 tahun wafatnya H. Mohd. Said. Ia menutup usia 28 tahun yang lalu (26
April 1995) dalam umur sekitar 85 tahun. Ia dikenang sebagai orang yang
mendirikan Waspada bersama istrinya Ani Idrus di Sumatera Utara pada periode
awal berdirinya Negara Republik Indonesia. Untuk itu saya ingin menggunakan
kesempatan ini untuk merenungi dan mengambil ibrah dari jurnalisme dan
kehidupan intelektualnya.
Mohd. Said adalah seorang intelektual yang berfungsi sebagai jembatan untuk
menghubungkan masa lalu dan masa kini di Pulau Sumatera dan sebagian Nusantara.
Sejak besar di Sumatera Utara, ia dengan sendirinya menginisiasi karya-karyanya
berdasarkan realitas sosial politik di masyarakat di kawasan Sumatra Utara.
Namun, ia juga terpapar ke tingkat nasional melalui keterlibatannya dengan era
kolonial dan perjuangan politik untuk emansipasi dari hegemoni kolonial Belanda
dan konstruksi sosial-politik pasca kemerdekaan. Semua proses ini, tidak
diragukan lagi, berkontribusi padanya untuk menjadi seorang nasionalis
sepanjang hidupnya yang tercermin dalam tulisannya di berbagai surat kabar dan
terbitan Waspada sendiri yang dianggap sebagai “koran kiblik”
yang berarti “suara gerakan Republik” oleh otoritas otoritas kolonial Belanda.
Cara modern untuk terlibat dengan orang-orang
Surat kabar atau media cetak, sebagaimana dikemukakan oleh Benedict
Anderson merupakan suatu mekanisme tertentu untuk memberikan jalan baru menuju
masyarakat modern. Masyarakat-masyarakat di Nusantara pada tahun-tahun awal
abad ke-19 menjumpai aparatur modern ini melalui berbagai publikasi. Dan selama
beberapa dekade di abad yang sama terjadi beberapa kontinuitas penerbitan surat
kabar dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Melayu. Seperti yang diamati yang
pertama adalah Pertja Timor pada awal abad ke-20. Setelah beberapa
tahun, yaitu 1908 -hampir seratus tahun penyiar surat kabar oleh pihak Thomas
Stamford Raffles pertama-, G. A. J. Hazeu mengusulkan pembentukan sebuah komisi
pada tahun 1908 yang kemudian disebut Kantoor voor Volkslectuur (Biro
Bacaan Populer atau Balai Pustaka) terutama untuk tujuan publikasi dan
penyebaran berita.
Di sini tidak dibahas secara detail apa itu ‘modern’. Tetapi secara
sederhana mengatakan bahwa modern berarti “kebaruan, sesuatu yang baru, dan
hari ini, yaitu sekarang dengan menandakan waktu”. Dalam penerbitan surat
kabar, tidak diragukan lagi bahwa penerbitan itu sendiri merupakan hasil dari
konstelasi keahlian, keterampilan, dan kesusastraan tertentu dari beberapa
orang yang berdedikasi. Tanpa menyederhanakannya orang dapat berargumen bahwa
penyebaran sesuatu melalui tulisan di atas mesin dan meletakkan tulisan di atas
kertas, menjual dan mendistribusikannya adalah sebuah penemuan.
Di luar itu, pikiran, semangat, dan perjuangan untuk menuangkan kata-kata
ke dalam teks yang bermakna dan mencetaknya dalam potongan-potongan terstruktur
dari berita, artikel, dll. adalah usaha jurnalis, atau investor media. Selain
teknis, inilah yang membangun dan mempertahankan publikasi surat kabar.
Latar belakang intelektual Mohd. Said sebagai founding father
Waspada perlu diperhatikan secara signifikan. Berkaitan dengan hal ini, ada dua
dimensi utama: yang pertama adalah tentang almarhum Mohd. Said kepribadian
intelektual; kedua, lingkungan sosial politik yang menjadi penyebab
pendiriannya.
Saya ingat di sini
salah satu pepatah Johann Gottfried von Herder (1744-1803): "... Manusia,
meskipun dirinya adalah anak alam, adalah manusia alam yang dibebaskan".
Dengan memiliki analogi, meskipun orang dapat berargumen bahwa Mohd. Said
adalah putra dari realitas sosial-politik pada masanya, ia dibebaskan darinya
dan berusaha merestrukturisasi realitas sosial-politik pada masanya. Kekuatan
keteruraian Mohd. Said sendiri dari kondisi mapan didasarkan pada pendirian
intelektualnya. Yang disebut belakangan ini tampaknya telah memberikan bentuk
pemahaman baru tentang peristiwa dan perkembangan yang terjadi selama masa
hidupnya.
Tidak diragukan
lagi berbagai intelektual, aktor politik, dll. sebelum dan sesudah tahun-tahun
kemerdekaan, dan Mohd. Said berbagi pandangan yang sama dengan beberapa dari
mereka. Namun, ia tetap menjadi kontributor mencerdaskan kehidupan masyarakat
Indonesia melalui inisiasi Waspada.
Bahkan, ada
beberapa inisiasi awal Mohd Said di bidang jurnalistik yang membuktikan bahwa
ia memiliki semangat individualisme untuk menyebarkan kebenaran melalui
mekanisme publik, yaitu surat kabar. Misalnya, ada dua usaha menonjol yang ia
lakukan bersama istrinya Ani Idrus. Yang pertama adalah penerbitan kembali Pewarta
Deli di Medan, sebagai kelanjutan dari versi awalnya pada tahun 1910 yang
diprakarsai oleh Dja Endar Moeda, yang dikenal sebagai koran pro Republik Indonesia
pertama. Koran yang kedua yang dijalankan pasangan intelektual ini adalah Antara
News berpusat di Medan pada tahun 1946.
Seseorang menegaskan bahwa inisiasi-inisiasi ini membuatnya dianggap
sebagai pelopor dalam jurnalisme, tidak hanya di tingkat daerah tetapi juga di
tingkat nasional. Surat kabar ini telah dianggap sebagai aset nasional di
bidang sejarah pers karena merupakan surat kabar tertua kedua dan masih
diterbitkan.
Menaikkan profesi secara berkelanjutan
Dia mengangkat tangga jurnalisme profesional dari bawah ke atas. Berawal
sebagai pekerja lepas dengan mengirimkan tulisan pertamanya ke berbagai surat
kabar seperti Soera Indonesia terbitan Surabaya sejak akhir tahun 1927.
Dalam perjalanan waktu, ia magang, menjadi reporter Tjin Po, surat kabar
harian terbitan Medan, pada tahun 1929 Setelah bekerja sebentar, ia
berpindah-pindah ke Oetoesan Sumatera di mana ia bekerja sebagai
redaktur (1928-1929), Sinar Deli (1937), Penjebar (1937), Penjedar
(1937-1938) dan Seroean Kita (1938-1939) yang diterbitkan atas
kerjasama istrinya, Ani Idrus. Sepanjang tahun-tahun mendatang ia menjadi
redacteurship dan penulis sebagai kolumnis dan usaha untuk mencetak korannya
sendiri.
Pentingnya jurnalismenya didasarkan pada periode tertentu seperti era
kolonial - baik Belanda maupun Jepang, konflik daerah, gerakan kemerdekaan,
pasca kemerdekaan dan proses pembangunan negara bangsa. Dan selama ini dia
mengerti bahwa dia bertindak secara bertanggung jawab dalam profesinya sendiri
melalui penyebaran kebenaran yang merupakan nilai terpenting yang secara
implisit dia perkenalkan kepada masyarakat. Tak ayal, ia juga menjadi aktor
penting dalam proses kemerdekaan dan pasca kemerdekaan yang berperan dalam
kelembagaan jurnalisme di Indonesia. Dia melakukan ini baik dengan usahanya
sendiri dalam jurnalisme, dan dia juga diundang oleh para pemimpin politik
nasional untuk berkontribusi dalam kapasitasnya sendiri di bidang ini.
Orisinalitasnya juga terkait dengan konsistensinya terhadap kaliber intelektualnya
sendiri. Berbeda dengan aktivis politik lainnya ia tidak harus menjadi
politisi. Ia sangat terikat dengan jurnalisme dan memainkan perannya untuk
berkontribusi kepada publik melalui tulisan-tulisannya. Dalam hal ini, bisa
ditebak bahwa orientasi intelektualnya adalah untuk menjangkau masyarakat luas
dalam jurnalisme yang adil -yang tampaknya menjadi norma baginya- dengan
menonjolkan peristiwa dan tokoh sejarah.
Tidak diragukan lagi bahwa jurnalisme generasi baru semakin berkembang dan
berubah baik dari segi teknis. Dan pendidikan juga berkontribusi pada
profesionalitas bidang ini. Tapi masih ada beberapa area yang harus kita
pelajari dari sikap intelektual dan profesional Mohd. Said.
https://epaper.waspada.id/epaper/waspada-senin-15-mei-2023/
OPINI, B3
[1]
Penulis
adalah profesor madya di Institut Internasional Pemikiran dan Peradaban Islam
(ISTAC), Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM).
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder