Ameer Hamzah 25
May 2013
Nun, demi pena dan apa yang engkau tulis (QS. Alqalam:1-2).
Kesusatraan Aceh dan Indonesia (Melayu) terasa lesu setelah A. Hasjmy meninggal 1998. Sejak itu tidak muncul lagi para sastrawan yang produktif, baik dalam bahasa Aceh maupun bahasa Indonesia. Malah yang sudah punya nama seperti Barlian AW, Fikar W Eda, Doel CP Alisah, Wiratmadinata, Nurdin F Joes, Rosni Idham, Nani HS, Din Saja jarang sekali kita baca karya mereka yang baru.
Saya pribadi yang dianggap oleh teman-teman juga seorang sastrawan, juga mulai tumpul (bugam) setelah A. Hasjmy meninggal dunia. Ada kondisi tertentu yang membuat saya semakin bugam di dunia sastra. Setelah itu saya mendalami dunia dakwah dan politik. Cita-cita saya ingin mengikuti jejak “Sang Guru” Prof. Tan Sri Kra Datu, A. Hasjmy, namun terbentur berbagai “mara” yang tak mampu ku sangga.
Sang guru memang luar biasa, ia bagaikan bintang kejora di langit zaman. Namanya mendunia, Pemimpin Agama Kathoilik Sri Paus Paulus juga pernah mengundangnya ke Roma, namun gagal waktu itu karena setiba di Jakarta A Hasjmy sakit. Sebelum itu beliau sudah pernah diundang ke Mesir, Iran, Turki, Filipina, dan Jepang. Sedangkan Malaysia, Singapur dan Brunei Darussalam sama dengan kita pergi ke pasar Aceh, maksudnya terlalu sering.
Paus Sastra Indonesia , H.B .Yassin memberi gelar kepada Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Saya memberi gelar kepada guru saya A Hasjmy sebagai Khalifah Pujangga Baru. Gelar ini sangat tepat, sebab beliau memiliki tiga hal yang tidak dimilki Amir Hamzah, sang pangeran dari langkat.
1. A. Hasjmy seorang pujangga yang cukup banyak mengarang buku-buku Sejarah dan Agama, juga novel-novel yang bernafaskan Islam. Beliau juga seorang penyair yang melebihi religiusitas Amir Hamzah.
2. A. Hasjmy seorang ulama dan intelektual islam, seorang guru besar pengcipta Fakultas Dakwah di Indonesia. Beliau juga bidan melahirkan Unsyiah, IAIN Ar-Raniry, dan Dayah Tgk Chik Pante Kulu.
3. A. Hasjmy juga seorang umara yang sukses. Beliau Gubernur kedua Prof Daerah Istimewa Aceh setelah Tgk H. Muhammad Dawud Beureueeh. A. Hasjmy menjadi gebenrnur saat Aceh membara, namun berkat kepiawainnya membawa air bukan api, bara dan nyala mulai padam. Beliau memperluas masjid raya, dari tiga kubah menjadi lima kubah, dari tidak ada menara menjadi dua menara waktu itu.
Makna Khalifah
Menurut A Hasjmy, semua sastrawan seharusnya menjadi khalifah Allah di bumi. Sebab Allah menciptakan manusia (Adam dan Bani Adam) untuk itu. Sebagai khalifah di bumi, manusia harus memakmurkan bumi dengan kebaikan-kebaikan, perdamaian, saling menghargai antara satu bangsa dengan bangsa yang lain, anti kekerasan, pelanggaran HAM, apalagi perang.
Khalifah bumi tidak boleh kalah dengan persak bumi, yakni Iblis (Syaithan) yang selalu menggoda manusia untuk merusak alam, permusuhan dan peperangan. Pujangga (sastrawan dan penyair) harus terus menerus mengciptakan karya-karya yang memupuk iman dan takwa, bukan karya picisan yang membangkitkan nafsu syahwat.
A.Hasjmy sering mengutip surah Asy-Syu’ara ayat 224-227: dengan terjemahan puitisnya sebagai berikut:
Para sastrawan (penyair), pengikut mereka bandit petualang/berdiwana dari lembah ke lembah/bicara tanpa kerja/ kecuali sastrwan (penyair) beriman/ yang beramal bakti/senantiasa ingatkan Ilahi/Mereka mendapatkan kesenangan/setelah hidup dalam ancaman.
Menurut ayat ini, memang para sastrawan jahiliyah zaman Nabi, banyak yang menggunakan keahliannya menciptakan puisi-puisi (syair) untuk menghina Islam dan Rasulullah SAW. Sejumlah besar mereka berpihak kepada Abu Lahab, Abu Jahal Cs, hanya sejumlah kecil yang masuk Islam dan beriman. Kondisi yang sama terjadi zaman Naskaom (Nasional Agama dan Komunis (1954,55,56) antara sastrawan pro PKI (Pramoedia Anantatoer Cs) dan Pro Islam (Taufiq Ismail Cs). A. Hasjmy kala itu termasuk yang anti Pram.
A. Hasjmy bukan hanya membesarkan nama dirinya, tetapi juga mencetak penyair-penyair muda dengan memberi spirit dan motivasi kepada mereka, maka di tangan A Hasjmy banyak penyair muda yang muncul ketika itu, bahkan hampir semua penyair dan seniman muda datang kepadanya untuk meminta nasihat dan bimbingannya.
Penutup
Sebagai penutup izinkanlah saya membaca sebuah puisi kecil buat Almarhum A. Hasjmy:
ZIARAH
Pagi tadi saat Dhuha meninggi
aku ziarah ke makammu wahai guru
Susana hening sepi….
Burung-burung kecil berzikir di pepohonan
Mengirim pahala buat guru di alam sana!
Suara Dedei Khueng memancing sendu
Bulu romaku merinding, bergetaran di dada
Kuseka derai air mata yang membasahi pipi ini
Kala mengenang jasamu bak laut tak bertepi
Dan ketika aku hendak pulang
Kubaca lagi tulisan terpahat di batu nasanmu:
A. Hasjmy, Sastrawan Pujangga Baru
Meninggal dunia: 18 Juni 1998
Kupanjatkan seberkas doa buatmu
Allahummaghfirlahu warhamhu, wa’afihi wa’fuanhu
Terima kasih kepada PuKAT (Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki), Dr. Mehmet Ozay dan Thayeb Loh Angen. Mudah-mudahan usaha ini terus berkembang dan jaya. Apalagi Aceh dan Turki, ibarat anak dan ayah Kandung yang tak mungkin dipisahkan. Hubungan Historis kita begitu indah, bendera Bulan-Bintang yang warna merah seakan melambai-lambai menyatukan kita kembali.
Ali Hasjmy sendiri pernah bercerita kepada kami ,”Nenek moyang saya dari Istanbul yang hijrah ke Yaman, kemudian pindah ke Aceh. Ada kemungkinan kepindahan mereka dulu disebabkan tugas dari Khalifah Turki untuk membantu Aceh dalam bidang-bidang tertentu, sebagai Sipai (tentara), sebagai Insinyur (ahli bangunan dan pertanian, sebagai ulama, dan sebagai ekonom untuk membangkitkan ekonomi Aceh. Wallahu a’lam.
Ameer Hamzah, sastrawan Aceh, penceramah, pendiri media Gema Bairurrahman
Makalah ini disampaikan dalam Diskusi Terfokus Mengembalikan Penyair Istana di Aceh Community Center (ACC) Sultan II Selim, Banda Aceh, 25 Mei 2013. Acara tersebut dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT) kerjasama dengan Aceh Community Center (ACC) Sultan II Selim.
http://www.peradabandunia.com/2013/05/ali-hasjmy-khalifah-penyair-pujangga.html
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder