Kata Pendahuluan
Versi di pustaka manuscrip di Kuala Lumpur |
Meskipun sumber-sumber mengenai kelahiran dan kematiannya belum bisa
terjangkau, kenyataab bahwa Baba Daud hidup antara pertengahan kedua abad ke-17
dan dekade pertama abad ke-18 adalah suatu hal yang sering dibicarakan. Nama
asli Baba Daud yang lebih banyak dikenal dengan panggilan Baba Rumi adalah Baba
Daud Bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali ar-Rumi*. Salah satu leluhurnya dipercayai telah sampai ke
Aceh. Dan diyakini juga bahwa ibunya berasal dari Melayu berdasarkan sandaran
pada nama Baba Daud, yaitu al-Jawi.
Jika kita ambil sebagai pertimbangan, Gurunya, Syeikh Abdurrauf as-Singkili
hidup antara tahun 1615-1693 dan kembali ke Aeh setelah menyempurnakan
pendidikannnya di Arab pada tahun 1661[1],
maka besar kemungkinan bahwa Baba Daud hidup pada pertengahan kedua abad ke-17
dan permulaan abad ke-18.
Dalam halaman perkenalan Tafsir Baizawi disebutkan bahwa Baba Daud bernama
lengkap Baba Daud Bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali ar-Rumi.[2] Referensi lainnya menyebutkan tentang
keberadaan beliau sebagai murid seorang ulama terkenal, Syeikh Abdurrauf
as-Singkili bernama Manzarul Ajla Martabatil A’la yang ditulis oleh Syeikh
Faqih Jalaluddin, salah seorang murid dari Baba Daud sendiri.[3]
Mengenai keberadaan Baba Daud di Aceh, ada
beberapa pendapat yang berbeda. Azra menyebutkan bahwa Baba Daud merupakan
salah seorang tentara yang dikirim oleh pemerintahan Turki untuk melawan
Portugis.[4]
Berkenaan dengan hal ini, Abdullah Shagir, seorang tokoh Melayu modern,
mengkritik ide tersebut dan menyajikan beberapa alternatif. Salah satunya
adalah suatu kemungkinan bahwa Syeikh Ismail ar-Rumi, seorang pemimpin tariqat
Qadiriyyah, yang dikirim dari Turki ke Aceh adalah ayah dari Baba Daud.[5]
Syeikh Baba Daud juga dikenal dengan panggilan Teungku Chik Di Leupu.
Panggilan ini diberikan kepada Baba Daud karena ia adalah seorang pendidik di
sebuah Dayah yang didirikan oleh Syeikh Abdurrauf as-Singkili dan Baba Daud
sendiri di Leupu, kecamatan Banda Aceh. Syeikh Abdurrauf as-Singkili
meminta Baba Daud untuk memimpin dayah tersebut. Baba Daud diakui sebagai seorang
murid Abdurrauf as-Singkili yang terkemuka baik dikarnakan partisipasinya dalam
mendirikan dayah di Leupu juga karena kontribusinya dalam menterjemahkan tafsir
Baizawi.[6]
Disamping itu, Syeikh Abdurrauf
as-Singkili memberikan al-quran yang ditulisnya dengan gaya kaligrafi istimewa
untuk Baba Daud. Baba Daud
kemudian memberikannya kepada Haji Yahya, generasi pemimpin dayah selanjutnya.
Alquran tersebut dipegang dari generasi ke generasi. Dan Akhir-akhir ini,
dikatakan bahwa tulisan tersebut berada ditangan Teungku Abdul Aziz Ujong yang
menetap di Peunayong. Sesuai dengan pernyataann Ali Hasjmy bahwa ia pernah
melihat langsung tulisan Syeikh Abdurrauf itu sendiri.[7]
Drs. Mahmud Ika, salah seorang keturunan Syeikh Abdurrauf as-Singkili mengatakan bahwa ia memiliki satu
fotokopinya dan ia juga menunjukkannya ketika penulis menemuinya.
Mengapa Baba Daud digelar sebagai Ar-Rumi
Untuk pertama-tama, terlebih dahulu kita memberikan
penjelasan tentang asal kata Rum. Anatolia yang saat ini dikenal sebagai
wilayah utama Turki, merupakan kawasan yang berada dibawah hegomoni kekaisaran
Bizantium yang juga disebut Kekaisaran Timur Roma pada masa lalu. Masyarakat
yang menduduki teritorial anatolia saat itu, di panggil sebagai orang Rum
Sebelum pusat negara Saljuki dan Turki Usmani dapat menguasai wilayah ini. Oleh
sebab itulah, mengapa Anatolia telah jauh dikenal sebagai daratan Rum. Disisi
lain, Sumber-sumber Arab dan Persia memakai nama Rum untuk kekaisaran Bizantium
dan Roma.[8]
Setelah Bangsa Turki Saljuki berhasil merobohkan
Anatolia pada permulaan abad ke-13, bangsa Turki mendiami Anatolia dan kemudian
masyarakat yang hidup disekitar wilayah ini mulai memanggil mereka dengan gelar
Rum.[9]
Setelah Fatih Sultan Mehmed II (sang penakluk)
berhasil menguasai Konstantinopel*, nama Rum
mulai dipakai untuk golongan Turki. Oleh karena itu, telah menjadi suatu
kebiasaan umum bangsa Turki dipanggil sebagai bangsa Rum, terutama mereka yang
tinggal dikawasan Anatolia, tepatnya saat Turki Usmani berada pada puncak
kekuasaan bagi seluruh dunia pada pertengahan kedua abad ke-15. kekuatan
politik, ekonomi, dan budaya Turki Usmani juga mempengaruhi negara-negara Islam
di dunia Melayu dan nusantara. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Melayu
memanggil Sultan Turki Usmani sebagai ‘Raja Rum’ dikarnakan keberhasilannya
menaklukkan Konstantinopel.[10]
Sebagai hubungan antara Kesultanan Turki Usmani
dan Kesultanan Aceh Darussalam, bangsa Turki lebih banyak datang mengunjungi
Aceh dan mereka juga dipanggil dengan panggilan yang sama, tidak hanya oleh
orang-orang Aceh sendiri tapi juga oleh penduduk di dunia Melayu. Azyumardi Azra
mengatakan bahwa Raja Rum biasanya disebut-sebut dalam manuskrip Melayu
sebagaimana yang tertulis berikut ini:“ ada narrasi istimewa yang
ditransmisikan dari generasi ke generasi tentang kesultanan Rum dalam dunia
Melayu. Pada masa dahulu, bangsa Arab dan Persia memiliki peran penting dalam
hal penyebaran islam diwilayah ini. Bagaimanapun, tidak ditemukan informasi
detail yang menyatakan Turki juga ikut ambil andil dalam periode islamisasi
pada masa-masa awal.[11]
(tanda petiknya berakhir dimana?)
Berdasarkan hasil penelitian kita bahwa alasan
Baba Daud di sebut Ar-Rum karena leluhurnya berasal dari Anatolia, Turki. Argumen
lain yang mendukung pendapat ini adalah Emperium, sebuah desa yang terletak di
pusat kota Banda Aceh. Alasan pemberian nama ini diketahui Sejak adanya
pengunjung pertama yang berasal dari wilayah Turki pada abad ke-16. kata
Emperium terdiri dari dua kata: ‘empe’ dan ‘rium’. ‘Empe’ berarti sebuah
penghormatan. Sedangkan ‘Rium’, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, dipakai
untuk sekelompok orang yang datang dari Anatolia. Maka, kata ‘Emperium’ mulai
dipakai oleh masyarakat Aceh untuk mengekspresikan penghormatan mereka pada komunitas
Turki di Aceh.[12]
Baba Daud: Seorang Ulama dan Tulisannya
Baba Daud merupakan salah seorang murid dan
khalifah Syeikh Abdurrauf as-Singkili yang diakui sebagai tokoh agama terkemuka
dalam kehidupan sejarah Aceh. Kepentingan Baba Daud sebagai seorang Ulama besar
dapat dilihat dari kontribusinya dalam mendirikan Dayah Manyang Leupue bersama-sama
dengan Gurunya.[13]
Disamping itu, Baba Daud juga mencurahkan jasanya dalam penulisan tafsir
alquran dan tafsir Melayu pertama yang dipakai oleh as-Singkili sebagai
referensi utama penulisan Tafsir Bayzawi. Buku tersebut berjudul Turjumanul
al-Mustafid yang telah berperan penting dalam peningkatan pemikiran Islam
didunia Melayu. Aspek menarik lainnya hádala tafsir ini pertama kali
diterbitkan di Instanbul.[14]
Cetakan asli tulisannya dapat ditemukan pada
salah satu cucu Baba Daud yang berkediaman di Patani yang kemudian dipindahkan
kepada Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Patani. Karya tulis ini telah
diterbitkan berkat bantuan Syeikh Ahmad al-Patani. Berdasarkan penuturan
keturunan-keturunan Baba Daud bahwa ada beberapa karya lainnya yang dikarang
oleh Baba Daud sendiri. Akan tetapi hingga kini Belum ada data-data konkrit
yang dapat ditemukan. Karya tulisan tangan Baba Daud tersebut disalin kembali
oleh Syeikh Daud bin Ismail al-Patani, salah satu keturunannya yang juga
dikenal sebagai Tok Daud Katib. Tulisan tersebut diwasiatkan kepada sepupunya,
Syeikh Ahmad al-Patani yang kemudian ditulis kembali oleh Syeikh Ahmad bin
Muhammad Zain al-Patani, Syeikh Daud bin Ismail al-Patani dan Syeikh Idris bin Husein
Kelantan. Edisi pertama diterbitkan di Istanbul, Mekkah, dan Mesir. Ketiga
pemuka agama tersebut juga melakukan beberapa koreksi pada karya tulis asli
Baba Daud.[15]
Baba Daud, tak hanya mengkontribusikan hasil
karya tulis gurunya, Syeikh Abdurrauf as-Singkili tapi juga menulis hasil
karyanya sendiri. Salah satu tulisannya yang terkemuka adalah Risala Masailal
li Ikhwanil Muhtadi yang telah dijadikan sebagai buku pedoman utama tak hanya
di Aceh[16]
tapi juga di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailan dimana semua negara
ini dulunya saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu selama kurun
waktu 300 tahun terakhir.[17]
Buku yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawi dan tehnik tanya-jawab ini
telah diakui sebagai salah satu cara terbaik untuk mengajarkan pengetahuan
agama dasar bagi murid-murid yang tidak mengenal bahasa Arab. Buku ini juga
menampilkan beberapa mata pendidikan yang berlainan seperti Akidah, Ibadah, dan
lain sebagainya tanpa ada perubahan sedikitpun.[18]
Disamping itu pula, ajaran-ajaran dalam tulisan Baba Daud ini telah pernah pula
melingkari kegiatan kegamaan di Masailal Muhtadin telah berperan banyak dalam pembentukan
karakter keagamaan murid-murid di wilayah tersebut.
Sepanjang karirnya, Baba Daud juga dikenal
sebagai seorang guru dan banyak orang-orang penting yng memilih untuk menjadi
muridnya. Salah satunya adalah Nayan Baghdadi, anak dari Al-Firus al-Baghdadi,
pendiri Dayah Tanoh Abee.[19]
Nayan Firus al-Baghdadi menjalani satu fase pendidikannya di Dayah Leupu
Peunayong, sebuah dayah terkemuka di Aceh saat itu dan Baba Daud yang bergelar
sebagai Teungku Chik di Leupu adalah salah satu guru pengajarnya. Setelah
menyempurnakan pendidikannya disini, Baba Daud menganjurkannya untuk kembali ke
Seulimeum dan mendirikan sebuah pusat kegiatan pendidikan disana.[20]
Selain Nayan Firus al-Baghdadi, Syeikh Faqih Jalaluddin juga tercatat sebagai salah
seorang murid Baba Daud lainnya yang popular.[21]
Makam Baba Daud
Saya mendapat informasi awal mengenai Baba Daud
ketika datang pertama kali ke Aceh antara September hingga Desember, tahun 2005
dan menetap disana selama 3 bulan. Salah seorang teman membimbing saya untuk
melihat makam seorng ulama bernama Baba Daud. Makam tersebut terletak
berdekatan dengan lokasi Mesjid di Leupu, Peunayong (nama wilayah sebenarnya).
Karena tempat tersebut merupakan salah satu tempat yang Hebat diterjang
Tsunami, kondisi makam tersebut juga menjadi tak layak. Disekeliling makam ini,
terdapat beberapa fasilitas kontruksi yang dibangun oleh LSM-LSM asing.
Meskipun begitu, lingkungan masyarakat
dengan inisiatifnya sendiri memutuskan untuk meletakkan pagar disekeliling
makam tersebut dengan polesan tulisan, “ Makam Ulama Aceh. Anak Murid Tgk.
Syiah Kuala.” Agak jauh dari makam tersebut terdapat sebuah toko pertukangan
kayu. Tampaknya kita masih dapat mengenal makam Baba Daud berkat kontribusi
sebagian orang yang Belum melupakan jasa-jasanya dimasa-masa yang lalu.
Keturunannya
Tidak Diketahui apakah ada atau tidak keturunan
Baba Daud yang masih hidup di Aceh saat ini. Bagaimanapun, seorang pemuka agama
yang terkenal, Syeikh Daud bin Ismail al-Jawi al-Patani yang menetap di Patani,
bagian selatan Thailan, diperkirakan sebagai salah seorang keturunanya. Haji
Nik Wan Fatma binti Haji Wan Abdul Kadir Kelantan bin Syeikh Daud bin Ismail
al-Patani (Kak Mah) yang disebut-sebut sebagai keturunannya yang lain telah
menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Senin, 26 Juli 1999, di Kota
Baru Kelantan.[22]
*Dosen di UTM, Malaysia.
*Ali Hasjmy menyebut nama lengkap Baba Daud
dengan menambahkan Ali sebagai pengganti dari al-Jawi sebagaimana yang tertulis
berikut, ”Syeikh Daud Bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali ar-Rumi”. Lihat:
Hasjmy, Ali, 59 Tahun Aceh Merdeka,
Bulan Bintang, Cakarta, 1977, hlm. 117. Sedangkan versi yang diberikan oleh
Azyumardi Azra adalah “Daud Al-Jawi Al-Fansuri bin İsmail bin Agha Mustafa bin
Agha Ali Al-Rumi”. Lihat juga Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama -Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII-, Penerbit Mizan, Cetakan Pertama, 1994, hlm. 211.
[1]Hadi,
Amirul, Islam and State In Sumatra -A Study
of Seventeenth Century Aceh-, Brill, 2004, hlm. 158
[2]Hamka, “Sebab Aceh Serambi Mekkah”, Seminar Sejarah Masuk Dan Berkembangnya
Islam Di Aceh Dan Nusantara, s. 4; Abdullah, Shagir, Khazanah Karya, Jilid
1, 1991, hlm. 160.
[3]Abdullah, Shagir, Penyebaran Islam Dan Silsilah Ulama Sejagat Dunia Melayu, Cilt 5, Persatuan Pengkajian Khazanah Klasik
Nusantara & Khazanah Fathaniyah Kuala Lumpur, 1999, hlm. 24.
[4]Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama -Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, hlm. 211.
[5]Abdullah, Shagir, Penyebaran Islam Dan Silsilah Ulama Sejagat Dunia Melayu, hlm.
24-5.
[6]Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama -Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, Penerbit Mizan, 4. Baskı, 1998,
hlm. 211.
[8]Reid,
Anthony, An Indonesian Frontier -Acehnese
and Other Histories of Sumatra- , Singapore University Press, Singapore, 2005, s.
69.
[9]Mersinli, Cemal, ‘Roma-Rum Kelimeleri’, TTK Belleten, V. Cilt, No. 17-18, April,
1941, Ankara, hlm. 160.
*Nama Konstantinopel diberikan sebagai nama
kota karena kaisar Bizantium yang berkuasa saat itu bernama Konstantin. Nama ini merupakan nama lama kota
Istanbul. Bahkan selama masa kerajaan Turki Usmani, nama ini juga dipakai oleh orang-orang
Turki. Kemudian nama tersebut diubah menjadi Istanbul. Pemakaian nama
Konstantinopel dapat ditemui dalam beberapa buku atau teks yang ditulis pada
abad ke- 19 juga.
[10]Azra,
Azyumardi, The Transmission of Islamic Reformism To Indonesia : Networks of Middle Eastern and
Malay-Indonesian ‘Ulama’ In The Seventeenth and Eighteenth Centuries,
Dissertation in the School of Arts and Sciences
Columbia University ,
1992, hlm. 103; Göksoy, İ. Hakkı, Güneydoğu
Asya’da Osmanlı-Türk Tesirleri, Fakülte Kitabevi, Isparta, 2004, hlm. 11.
[11]Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama -Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, Penerbit Mizan, 4. Baskı, Bandung, 1998, hlm. 45.
[12]Özay, Mehmet, Açe Kitabı, Fide Yayınları, İstanbul, 2006, hlm. 111.
[13]Hasjmy, Ali, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Penerbit Beuna, Cakarta, 1983, hlm.
382.
[14]Abdullah,
Sagir, Penyebaran Islam Dan Silsilah
Ulama Sejagat Dunia Melayu, hlm. 16; Amiruddin, M. Hasbi, The Response of the Ulama Dayah -to the
Modernization of Islamic Law in Aceh-, Penerbit Universiti Kebangsaan
Malaysia, Bangi, 2005, hlm. 13.
[15]Abdullah, Sagir, Penyebaran Islam Dan Silsilah Ulama Sejagat Dunia Melayu, Cilt 5, Persatuan Pengkajian Khazanah Klasik
Nusantara & Khazanah Fathaniyah Kuala Lumpur, 1999, hlm. 16.
[16]Hasjmy, Ali, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, Bulan Bintang, Jakarta,
1978, hlm. 81.
[17]Hasjmy, Ali, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Penerbit Beuna, Cakarta, 1983, hlm.
218.
[18]Hasjmy,
Ali, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah,
s. 382; Amiruddin, The Response of the
Ulama Dayah -to the Modernization of Islamic Law in Aceh-, hlm. 39.
[19]Hj.
Wan Mohammad Shaghir Abdullah, Penyebaran Islam dan Silsilah Ulama
Sejagat Dunia Melayu,
Cilt 7, Siri Ke-8, Persatuan Pengkajian Khazanah Klasik Nusantara &
Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, 1999, hlm. 2.
[20]Hasjmy,
Ali, Ulama Aceh, Mujahid Pejuang
Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa 1997, hlm. 4.
[21]Abdullah, Shagir,
Penyebaran Islam&Silsilah Ulama Sejagat Dunia Melayu, Cilt 6, hlm. 41.
[22]Abdullah, Shagir, Penyebaran Islam Dan Silsilah Ulama Sejagat Dunia Melayu, Cilt 5,
hlm. 26-7.
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder