Mehmet Özay[2]
Darwis Abbas Sulaiman[3]
adalah salah seorang tokoh penting yang aktif berpartisipasi dalam berbagai program penting di bidang pendidikan dan kebudayaan. Belaiu bukanlah seorang akademisi yang mengasingkan
diri dalam kamar kerja. Sebaliknya, beliau mengembangkan ide-ide dengan mengajar di kampus,
berpartisipasi dalam acara-acara yang relevan, membuka
toko buku, menerbitkan karya-karya besar, menyelenggarakan
dan menjadi narasumber pada seminar dengan beragam tema baik yang berskala lokal nasional dan internasional.[4] Dalam bidang ini,
beliau dipandang sebagai seorang
yang berjuang sendiri kendati betapa
sulitnya menjalankan berbagai peran diatas. Misalnya, diantaranya,
tampak bahwa beliau telah
memberikan kontribusi yang begitu besar
maknanya bagi masyarakat dalam
kapasitasnya sebagai seorang akademisi. Dalam rentang
beberapa tahun yang panjang sebagai seorang cendikiawan beliau juga telah
berkontribusi pada beberapa organisasi seperti mendirikan Pusma (2002), memimpin
Dewan Kesenian Aceh (DKA) dan
Majelis Pendidikan Daerah (MPD), serta
menjabat sebagai Wakil Ketua pada Lembaga
Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA).[5]
Selama
keberadaan saya di Aceh sejak tahun 2005, saya telah bertemu dengan beliau beberapa kali; dan menariknya, setiap
kali bertemu, beliau bertindak sebagai perwakilan dari beberapa lembaga dan
organisasi yang berbeda. Di luar itu, ketika saya ingin mengunjungi beliau untuk sekedar berbincang-bincang atau ketika saya perlu membeli buku 'tua', saya langsung pergi
ke toko buku
beliau di Darussalam.
Cara beliau menjalankan toko buku mengingatkan saya betapa uniknya pribadi beliau dalam konteks
dunia budaya ke-Aceh-an. Sebagaimana yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia yang lain, jelas teramati bahwa toko-toko buku
tidak hanya
berperan sebagai fungsi 'tempat belanja' belaka. Lebih dari itu, toko-toko buku berperan sebagai
pembuka jalan untuk mengembangkan berbagai wacana intelektualitas. Di mata masyarakat Aceh, DAS mungkin belum berperan
sebagai seorang
educationist (tokoh pendidikan); namun beliau telah menjadi tokoh
internasional
yang menyelenggarakan dan menghadiri berbagai konferensi dan seminar sejak
tahun-tahun pertama
keberadaan beliau di kampus. Berkenaan dengan kemampuan beliau dalam menyelenggarakan
seminar nasional dan internasional membuktikan kapasitas beliau sebagai seorang yang memiliki
keterampilan kewirausahaan intelektual.
Perlu untuk
mengajukan beberapa
pertanyaan yang relevan tentang mengapa DAS melakukan upaya-upaya yang
disebutkan di atas. Apakah beliau hanya memainkan perannya demi mengejar keuntungan pribadi dan materi? Atau, apakah beliau telah melihat
kemunculan semacam masalah eksistensial dalam ranah pendidikan dan kebudayaan
dan kemudian
mencoba untuk menemukan solusinya? Tidak diragukan lagi bahwa DAS merupakan bagian dari generasi yang
lahir selama tahun-tahun akhir di masa kolonial
Belanda. Sebagai anggota masyarakat yang telah kehilangan pemikir besar, para tokoh pendidikan dan para ulama bersama-sama melacak jejak
perjalanan panjang dalam perjuangan melawan Belanda. Dan, masa pemulihan membutuhkan proses yang panjang hingga
selama bertahun-tahun pra dan paska kemerdekaan. Jadi, dalam kondisi
sosio-ekonomi dan politik Aceh sepanjang beberapa dekade ini, tidak dapat katakan bahwa
pemulihan ini berhasil atau seluruhnya terealisasi. Dan, tidak
diragukan lagi bahwa
telah ada beberapa refleksi dalam hal
keterbelakangan kelembagaan di bidang pendidikan dan kebudayaan. Sebagaimana yang telah dicermati dalam beberapa
seminar yang diselenggarakan di tahun 1970-an dan 1980-an di Aceh, Para peserta seminar menyentuh
isu-isu yang penting
ini secara
mendetil dalam makalah-makalah mereka.[6] Karena alasan
ini, dan karena
masih belum ditemukan jawaban atas isu-isu masalah
tersebut, DAS mengkritisi kondisi yang
relevan dalam tulisan-tulisannya dalam beberapa seminar yang diselenggarakan dalam tahun-tahun akhir 1980-an.[7]
Tidak diragukan lagi bahwa semua upaya yang dilakukan DAS pantas dianggap
selaras dengan langkah-langkah yang telah diambil oleh para tokoh dari generasi awal dan
generasi yang sama seperti Daud Beureuh, Aboebakar Aceh, Teuku Alfian, Ali Hasjmy dan Ahmad Daud dll. dalam upaya untuk membangkitkan kembali
pentingnya pendidikan Aceh yang menjadi model bagi masyarakat Muslim Asia
Tenggara, misalnya dunia Melayu, seperti yang terjadi pada abad-abad sebelumnya.[8] Dalam
persimpangan ini, perlu diingatkan bahwa
weltanschauung-nya terstruktur
oleh keterikatan yang kuat pada 'kearifan lokal. Dan, pendidikan
tinggi yang
beliau dapatkan di luar negeri memungkinkan beliau untuk terpapar pada perkembangan
modern dalam pendidikan. Kedua ranah yang berbeda ini, meskipun
tampaknya kontradiksi, tentu saja memberikan kontribusi pada perkembangan pemikiran beliau sehingga belaiu dapat mengungkapkan
lebih banyak pertanyaan dan mencoba untuk menjawab permasalahan yang muncul di
masyarakat
dari sudut
pandang yang berbeda. Sementara itu, referensi 'kearifan lokal’ yang terkait dengan
budaya dan peradaban Islam diperkenalkan dan dikembangkan di Aceh sebagai bagian dari wilayah Asia Tenggara. Pendidikan
modern beliau
di luar negeri
memperluas visi
beliau dalam menghadapi masalah dan menemukan
solusi permasalahan
tersebut secara konstruktif. Latar belakang pendidikan formal dan nonformal membuat beliau lebih siap untuk memiliki sebuah grand design (rancangan besar) untuk masyarakat
Aceh yang terbukti secara historis dan tradisional sebagai semacam model bagi
dunia Melayu
selama berabad-abad yang
lalu. Meskipun
terdapat ketidakpastian yang mendasar, beliau mencoba untuk
menemukan solusi dengan menjalankan suatu paradigma baru
yang akan saya bahas secara singkat di bawah ini[9].
Weltanschauung-nya: Aceh dalam Konteks Dunia
Melayu
Ketika kita melihat judul dan
isinya secara
khusus, karya-karya
beliau melampaui
batas-batas kwalitas lokal dan membawa target baru ke hadapan intelektual dan akademisi
Aceh. Pada
saat yang sama dapat dikatakan bahwa
DAS menyadari hubungan
penting antara masa lalu dan masa
depan dengan mempertimbangkan budaya dan peradaban
Aceh dalam dunia Melayu
yang lebih besar.
Dalam tulisannya, beliau secara eksplisit mengungkapkan tanda-tanda
pemersatu yang lebih besar
antara Aceh dan dunia Melayu dengan memberikan alasan-alasan historis dan
antropologis. Di sisi lain, beliau menunjukkan beberapa hal fundamental yang menjadikan Aceh aktor penting dalam dunia Melayu telah
mengalami distorsi. Dalam hal
ini, artikel beliau yang berjudul 'Warisan Budaya Melayu Aceh’ menjadi contoh yang jelas mengenai hubungan antara Aceh dan konseptualisasi Melayu yang
lebih luas. Dalam pemikiran ini, tampak
bahwa ranah sosial-budaya dan agama mendapatkan
fungsi yang lebih besar dalam
konteks Melayu. Ide mengenai Melayu yang lebih besar secara konsisten tidak hanya merupakan upaya penting dalam hal penyatuan kelompok sub-budaya Melayu, tetapi
juga menantang gagasan struktur negara-bangsa modern yang tentunya memberikan pembatasan terhadap filsafat sosio-politik umum dunia Melayu, baik dalam
skala kecil maupun dalam skala yang lebih besar. Tidak diragukan lagi bahwa DAS menyadari sulitnya mengembangkan
gagasan Melayu Besar karena masih sedikitnya
upaya intelektual yang
telah diwujudkan.[10]
Penting juga untuk menanyakan dimana tempat ke-Melayu-an dalam pemikiran
beliau. Dan
jawabannya dapat ditemukan pada
bagian tertentu dalam artikel yang berjudul 'Aceh Dalam Konteks
Dunia Melayu'.[11] ‘Alam
Melayu’ menurut rujukan beliau tidak hanya sebagai sebuah wilayah
tetapi juga sebagai suatu kawasan budaya lebih luas yang didirikan sepanjang rentang
sejarah Islam di wilayah tersebut.[12]
Dalam hal ini, klasifikasi
Wan Sagir Abdullah
berfungsi dengan tepat dalam memahami pemikiran DAS. Abdullah membandingkan
beberapa istilah geografi-budaya
seperti 'Nusantara',
'Tanah Jawi' dan 'Alam Malayu'. Dan prioritas beliau pada Alam Melayu berkaitan erat dengan perspektif Islam untuk kawasan tersebut karena ini merupakan konsep yang lebih lengkap.[13]
Jika kita melihat secara rinci isi salah satu artikel beliau
yang berjudul 'Aceh Dalam
Konteks Dunia Melayu',
terlihat
bahwa DAS mendasarkan
pendapatnya pada spektrum yang lebih besar yang meliputi pendekatan jangka panjang (long dureé) untuk melukiskan batas-batas Aceh dalam Dunia Melayu.[14] Dalam hal
ini, terjemahan al-Quran
dalam bahasa Melayu yang pertama, dan
contoh-contoh 'pantun' awal sebagai bentuk puisi Melayu
yang unik merupakan
isu-isu yang umumnya sering dijadikan acuan.
Karya-karya sastra sosial keagamaan yang diciptakan di Aceh cukup penting; tidak hanya untuk menghubungkan
Aceh dengan wilayah-wilayah Dunia Melayu
yang lebih besar, tetapi juga untuk memberikan kontribusi yang signifikan untuk Dunia Melayu.[15] Kenyataan ini secara implicit juga menekankan
bahwa peran Aceh
telah dominan dalam
ranah tulis-menulis yang hasilnya telah
disebarluaskan melalui berbagai kalangan terutama oleh para ulama.[16] Sebagaimana yang terlihat dalam karya
tersebut di atas, DAS mengacu pada tulisan-tulisan Ali Hasjmy yang telah diakui sebagai
salah satu tokoh perintis yang
mempromosikan ideologi Pan-Melayu.
Jelas terlihat bahwa
DAS membangun pendekatan filosofis terhadap masalah masalah pendidikan dan budaya
dengan mengacu pada fakta-fakta sejarah dan kontinuitas. Beliau menekankan pentingnya ikatan yang kuat antara Aceh dan Dunia Melayu, dan memandang konteks Aceh dalam perspektif Pan-Melayu
yang lebih luas. Misalnya
bahasa, dalam hal ini bahasa Aceh, telah berperan sebagai media dalam berbagai jenis teks
yang khususnya
ditulis oleh para ulama dalam rentang zaman
yang berbeda sepanjang sejarah;
misalnya Hikayat Perang Sabil,
Hikayat Prang Kumpeni
(abad ke-19), dan Hikayat Prang Peringgi (abad ke-14).[17] Meskipun dalam beberapa abad yang relatif lebih awal bahasa Melayu lebih dominan di kalangan istana,
rakyat biasa tetap berkomunikasi dengan bahasa Aceh. Dengan
demikian, tidak
diragukan lagi bahwa
bahasa Melayu, bahasa Aceh
dan bahasa
Arab juga berperan penting secara resmi di
berbagai daerah.[18]
Beliau juga menegaskan
bahwa karena kemampuan dan kapasitas linguistik bahasa Aceh dan bahasa
Melayu telah difungsikan secara produktif dalam bentuk tulisan-tulisan
keagamaan dan sastra, kedua bahasa ini menjadi sumber kekayaan budaya
sepanjang sejarah Aceh.[19] Beliau menyebutkan beberapa nama intelektual zaman ini yang menjadi tokoh-tokoh pelopor dalam kesusasteraan yang menghasilkan
karya-karya mereka dalam bahasa Aceh pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia seperti
Teuku Mansoer Leupueng, Haji Aboebakar (Aceh), Anzieb Lamnyong, HM Zainoeddin – dan paska kemerdekaan seperti Abdullah Arief, Ibnoe
Abbas, Ismail Muhammad Syah, Ali Muhammad, Araby Ahmad, Syeh Rih Krueng Raya, Syeh
Min Jeureula, dan
Mahmud Leubu.[20]
Bidang
permasalahan yang beliau angkat juga berawal dari sini, karena
zaman keemasan telah ditinggalkan pada halaman-halaman berdebu dalam
buku-buku sejarah. Dengan begitu, tidak
ada alasan untuk
tidak mengambil
tindakan yang sesuai. Akan
tetapi, sebagaimana
disebutkan diatas, beliau memiliki niat yang kuat untuk
membangkitkan kembali tradisi besar yang
bermula di Aceh untuk membangun suatu
kesatuan yang lebih besar yang diungkapkan
dalam bentuk budaya dan
peradaban Melayu. Dalam pemikiran beliau yang perlu difungsikan untuk
pengembangkan budaya nasional
misalnya budaya Indonesia,
aspek ini tampaknya
berperan sebagai sesuatu yang alami dan tak terelakkan.[21]
Beliau juga menyadari realitas tuntutan modernitas. Dalam tulisan yang sama, beliau berpendapat bahwa adalah suatu keharusan bagi budaya Aceh dan budaya Melayu
untuk menghadapi tantangan
modernitas ini.[22] Meskipun tuntutan ini sendiri dipandang
sebagai semacam dilema, namun DAS secara
implisit menekankan sifat modernitas
yang menantang terhadap pembentukan budaya tradisional. Sedikit atau banyak, pernyataan ini juga
tidak bisa lepas dari konteks menghadapi dua ranah yang berbeda dan bertentangan
misalnya antara tradisionalitas dan modernitas.
Ada kemungkinan bahwa sebenarnya beliau sedang mengingatkan kalangan yang relevan untuk siap terhadap tantangan modernitas dan
menghimbau mereka untuk menghadapinya, dan bila
mungkin, mengatasi
berbagai kesulitannya. Disamping hubungan historis antara Aceh
dan Melayu ini,
perlu juga
menyentuh isu
pendidikan yang tentu
saja terkait
langsung dengan hal
yang telah dibahas di atas.
Pendidikan
Dalam hal ini, beliau berulang kali mengingatkan mengenai perlunya transformasi dan strukturisasi baru didalam dan antar lembaga publik khususnya dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Ide-ide beliau seputar masalah ini dikemukakan pada tahun 1970 dan 1980, tetapi tampaknya tidak banyak perubahan positif yang signifikan yang telah dihasilkan. Beliau terus melanjutkan pendekatan kritis dalam rentang tahun-tahun berlangsungnya rekonstruksi dan rehabilitasi paska tsunami. Dengan demikian, tampaknya Aceh dianggap telah mendapatkan momentum penting untuk melakukan reformasi terutama dalam bidang birokrasi sebagai upaya untuk membangkitkan kembali kisah sukses dalam era keemasan pendidikan baik dalam bidang agama maupun non-agama; walaupun setidaknya hanya secara parsial.
Dalam hal ini, beliau berulang kali mengingatkan mengenai perlunya transformasi dan strukturisasi baru didalam dan antar lembaga publik khususnya dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Ide-ide beliau seputar masalah ini dikemukakan pada tahun 1970 dan 1980, tetapi tampaknya tidak banyak perubahan positif yang signifikan yang telah dihasilkan. Beliau terus melanjutkan pendekatan kritis dalam rentang tahun-tahun berlangsungnya rekonstruksi dan rehabilitasi paska tsunami. Dengan demikian, tampaknya Aceh dianggap telah mendapatkan momentum penting untuk melakukan reformasi terutama dalam bidang birokrasi sebagai upaya untuk membangkitkan kembali kisah sukses dalam era keemasan pendidikan baik dalam bidang agama maupun non-agama; walaupun setidaknya hanya secara parsial.
Argumentasi beliau didasarkan pada kesadaran mengenai latar belakang
sejarah dan tradisi
yang kuat. Difahami bahwa ini merupakan zaman baru
yang cukup menantang bagi orang Aceh. Jadi, secara bersamaan, ini
merupakan kesempatan untuk membuka jalan baru untuk membangun
hubungan baik dengan dunia Melayu yang lebih besar.
Pada ulang tahun
proses perdamaian Aceh yang ke-10 ini, cukup menarik untuk menanyakan apakah ada ditemukan kesempatan untuk
mewujudkan ide-ide dan tanggapan-tanggapan praktis yang telah dilontarkan oleh DAS. Baru-baru ini, disebutkan dalam beberapa surat
kabar bahwa anak-anak dari keluarga orang Aceh lebih memilih untuk tidak menggunakan bahasa Aceh dalam lingkungan keluarga. Fakta ini terlihat tidak hanya terjadi pada keluarga orang Aceh
yang tinggal di ibu kota Negara (Jakarta) tetapi juga di ibukota propinsi (Banda Aceh). Tampaknya ini menjadi bukti bahwa telah terjadi degenerasi
identitas etno-kultural.[23] Sebenarnya, ini merupakan fakta-fakta yang mengejutkan
yang seharusnya menjadi peringatan bagi pejabat pemerintah mengenai pentingnya menangani persoalan bahasa dan
kebudayaan di wilayah ini. Menariknya, Bactiar Ali menyorot masalah
ini dalam salah satu tulisannya yang terbit kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Beliau mendesak agar
Departemen Pendidikan mengambil tanggung jawab untuk mewujudkan muatan lokal, yang diantaranya harus memasukkan aspek bahasa.[24] Contoh-contoh
ini mengingatkan saya pada salah satu artikel beliau yang berjudul "Pendidikan Kita Belum Membudaya". Disini DAS telah memikirkan hal ini dan masalah yang serupa beberapa dekade
yang lalu dan telah
mencoba untuk
mencari jawaban
paling tidak dengan cara mengangkat isu ini kedepan publik untuk didiskusikan secara terbuka. Maka, perlu untuk
mengingatkan kembali
apa yang telah beliau tawarkan pada saat itu.
Sebuah Paradigma Baru yang Dibutuhkan
Alasan mengapa kalangan intelektual
Aceh perlu menghasilkan suatu paradigma baru adalah berdasarkan pada
pendekatan kritis terhadap periode paska kemerdekaan. DAS
menggambarkan era antara tahun 1950-an dan 1990-an sebagai
suatu kegagalan untuk
menyesuaikan lingkungan budaya Aceh dengan budaya aslinya, sehingga tidak dapat
dikembangkan menurut perubahan waktu dan keadaan. Dalam hal ini,
DAS dengan
berani menyentuh persoalan-persoalan yang disebabkan oleh faktor internal
maupun faktor
eksternal.
Secara internal, meskipun telah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh para
penyelenggara PKA, upaya-upaya tersebut tampaknya telah gagal atau tidak memberikan kontribusi; sebalikmya hanya sebagai
pendekatan 'pragmentaris'.[25] Menurut definisi yang beliau kemukakan, pragmentaris
muncul
melalui pemilihan beragam program dan kegiatan baik oleh kalangan organisasi
pemerintah maupun organisasi non-pemerintah.
Jadi, setiap organisasi semata-mata hanya mencari
keuntungan jangka pendek baik yang hasilnya dapat segera terlihat maupun tidak; meskipun demikian, tidak perlu mempersoalkan apakah mereka tidak tulus
dalam hal
kebijakan yang mereka ambil. Konsep lain yang beliau kembangkan
adalah 'konsep
temporal', yang mengacu pada program-program relevan yang telah terealisasi sebagai hasil dari keputusan
instan sehingga belum dapat dikategorikan sebagai bagian
dari grand design (rancangan besar) yang dapat memberikan
harapan untuk pembangunan
jangka menengah maupun jangka panjang.[26]
Dalam hal ini, DAS menegaskan bahwa paradigma lama yang dijalankan
oleh lembaga-lembaga terkait yang terlibat dalam
pengembangan berbagai kegiatan kebudayaan tidak memiliki "orientasi dan strategi pelatihan yang dirumuskan secara
memadai dan jelas".[27] Di sisi lain, beliau menekankan pentingnya memiliki paradigma baru untuk mengatasi kesulitan dalam kebijakan perkembangan
budaya dan seni. Oleh
karena itu, beliau meletakkan kriteria untuk
paradigma baru sebagai
berikut: Semua lembaga terkait yang berperan dalam bidang kebudayaan (adat dan seni) harus
memiliki tujuan, orientasi dan strategi yang jelas sebagai suatu titik awal. Lebih dari ini, beliau menekankan pada penyederhanaan struktur organisasi untuk memungkinkan terjadinya
integrasi antara lembaga yang memiliki struktur organisasi yang serupa untuk
mencapai
target yang
sama.[28]
Dalam kapasitasnya sebagai aktifis LSM maupun sebagai pejabat
lembaga pemerintah, DAS menekankan bahwa paradigma baru itu
harus dikoordinasikan di
bawah satu badan yang akan
difungsikan dalam proses pengambilan keputusan
dan evaluasi riset. Dengan struktur
baru ini "pengembangan program kebudayaan dapat
dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan (dan tidak bersifat temporal).[29]
[1]Di Perihal Pendidikan Dan Kebudayaan: Sebuah
Otobiografi Persembahan Pada Usia 78 Tahun, (2016). (ed.). Darwis A. Soelaiman,
hal.: 388-396.
[2]Dr.
Mehmet Özay adalah Peneliti Independen, Ketua PuKAT.
[4]Misalnya seminar mengenai “Pengkajian Budaya Melayu-Aceh” pada tanggal
26-27 Oktober 2002. Lihat: Darwish A. Sulaiman.
(2003). (ed.) Warisan Budaya:
Melayu Aceh, Banda Aceh: Pusat Studi Melayu-Aceh (PUSMA) hal. vi. (Catatan: Ketika saya sedang menyampaikan
kuliah di Skudai, saya melihat beliau
sedang mempresentasikan makalah pada sebuah konferensi internasional mengenai “Dunia
Melayu” yang diselenggarakan oleh Yayasan Warisan Johor (YWJ) tahun 2011.)
[5]Catatan: LAKA dan Majelis Pendidikan untuk mendukung keistimewaan Aceh, memberi
peluang bagi kita untuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi agar ketiga forum
kelembagaan ini dapat berjalan dengan suksek.” Bachtiar Ali. (2004). “Budaya Aceh Sepanjang Abad”, Kearifan Yang
Terganjal: Safwan Idris: Ulama dan Intelektual Aceh, Cetakan II, Banda Aceh:
Ar-Raniry Press dan Nadia Foundation, hal. 267.
[6]Untuk contoh artikel, Lihat:
Aboebakar Atjeh, Abidin Hasjim. (1972). “Hari Depan Kebudajaan Atjeh”, Seminar Kebudajaan Dalam Rangka Pekan
Kebudajaan Atjeh Ke-II, 20 Agustus-2 September 1972, Buku Ketiga, Panitia
Pusat Pekan Kebudajaan Atjeh Ke-II, Banda Aceh, hal. 2, 9; S. M. Idrus, (1972). “Hari
Depan Kebudajaan Atjeh”, Seminar
Kebudajaan Dalam Rangka Pekan Kebudajaan Atjeh Ke-II, 20 Agustus-2
September 1972, Buku Ketiga, Panitia Pusat Pekan Kebudajaan Atjeh Ke-II, Banda
Aceh, hal. 4; Abidin Hasjim. (1972). “Hari Depan Kebudajaan Atjeh”, Seminar Kebudajaan Dalam Rangka Pekan
Kebudajaan Atjeh Ke-II, 20 Agustus-2 September 1972, Buku Ketiga, Panitia
Pusat Pekan Kebudajaan Atjeh Ke-II, Banda Aceh, hal. 3-4.
[7]Darwish A. Sulaiman. (1988). “Perlukah Sebuah Paradigma Baru Untuk Pembinaan Kebudayaan Aceh”, Bunga Rampai Temu Budaya Nusantara, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA-3), Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, hal. 195.
[8]Wildan. (2011). Nasionalisme
dan Sastra: Doktrin, Misi, dan Teknik Penyampaian Nasionalisme dalam Novel A.
Hasjmy, Penerbit Geuci&Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, hal. 43.
[9]Darwish A. Sulaiman. (1988). Ibid, hal. 196.
[10]Darwish A. Soelaiman.
(2003). (ed.) Warisan Budaya: Melayu Aceh,
Banda Aceh: Pusat Studi Melayu-Aceh (PUSMA), hal. vii.
[11]Darwish A. Soelaiman.
(2003). “Aceh Dalam Konteks Dunia Melayu”, Warisan
Budaya Melayu Aceh, (ed.) Darwish A. Soelaiman, Banda Aceh: Pusat Studi
Melayu-Aceh.
[12]Catatan: Untuk pendekatan serupa Lihat.: Ismail Hussein.
(1985). “Antara Dunia Melayu Dengan Dunia Indonesia dan Malaysia”, Warisan Dunia Melayu: Teras Peradaban
Malaysia, (ed.), Abdul Latiff Abu Bakar, Kuala Lumpur: GAPENA, hal. 3.
[13]Wan Mohd. Shaghir
Abdullah. (2002). Wawasan Pemikiran Islam
Ulama Asia Tenggara, Jilid 5, Persatuan Pengkajian Khazanah Klasik
Nusantara, Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, hal. 1.
[14]Darwish A. Soelaiman.
(2003). “Aceh Dalam Konteks Dunia Melayu”, Warisan
Budaya Melayu Aceh, (ed.), Darwish A. Soelaiman, Banda Aceh: Pusat Studi
Melayu-Aceh.
[15]Patani, Sri Langka,
Pilipina Selatan, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia serta daerah-daerah
Melayu lainnya di Nusantara Indonesia. (Lihat:
Ismail Hussein. (1985). “Antara Dunia Melayu Dengan Dunia Indonesia dan
Malaysia”, Warisan Dunia Melayu: Teras
Peradaban Malaysia, (ed.), Abdul Latiff Abu Bakar, Kuala Lumpur: GAPENA,
hal. 1.
[16]Untuk karya rinci yang
dihasilkan di Aceh Lihat.: Oman
Fathurahman. (2010). Katalog Naskah Dayah
Tanoh Abee Aceh Besar (Aceh Manuscripts: Dayah Tanoh Abee Collection),
Jakarta: Komunitas Bambu; Oman Fathurahman&Munawar Holil. (2007). Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh: Catalogue of
Aceh Manuscripts: Ali Hasjmy Collection, The Center for Documentation &
Area-Transcultural Studies.
[17]Darwish A. Soelaiman.
(1987). “Peranan Karya Penulis Aceh Dalam Kebangkitan Budaya Bangsa”, Sinar Darussalam, No. 158-159,
Januari-Februari, hal. 35.
[18]Darwish A. Soelaiman. (1987). Ibid, hal. 33, 36.
[24]Bactiar Ali. (2004). “Budaya Aceh Sepanjang Abad”, Kearifan Yang Terganjal: Safwan Idris: Ulama
dan Intelektual Aceh, Cetakan II, Banda Aceh: Ar-Raniry Press And Nadia
Foundation, hal. 271.
[27]Darwish
A. Sulaiman. (1988). Ibid, hal. 198.
[29]Darwish
A. Sulaiman. (1988). Ibid, hal. 199.