Özay, Mehmet
Kesultanan
Aceh dan Turki Antara Fakta dan Legenda/Mehmet Özay;—Cet .1—Kuala Lumpur:
Hawash Enterprise, 2014.
xiii + 113
hal.
|
: 14,8 x 21 cm
|
|
ISBN
|
: 9789671297100
|
|
Anggota IKAPI
|
|
|
Judul
|
: Kesultanan
Aceh dan Turki, Antara Fakta dan Legenda
|
|
II. Özay, Mehmet
|
|
|
Cover: Teuku Ampon Chik Raja Ismail
Siddik Attahashi (1910-1945) dengan pegawainya, Sungei Iyu Tamiang. 1933.
Terimakasih kepada Teuku Hamid dan keluarga.
Penulis: Mehmet Özay Penerjemah: Afdhal
Muchtar Editors: Thayeb Loh Angen
Desain Cover-Layout: Mulyadi -Cetakan 1,
October 2014 Copyright @ 2014
by Mehmet Özay All rights reserved.
Hak
Cipta Dalam Bahasa Indonesia @ Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT)
Kuala Lumpur, 2014
Pusat Kebudayaan
Aceh Dan Turki (PuKAT)
Kata
Pengantar.................................................................... v
Bab 1
Catatan
Perjalanan Penulis di Aceh....................................... 1
Bab 2
Dari
Lada Secupak Hingga Utusan Sultan Selim II.............. 12
Bab 3
Ma’had Baitul
Maqdis, Kampung Bitai,
dan
Keturunan Turki di Banda Aceh.................................... 28
Bab 4
Utusan
Sultan Aceh Darussalam ke Turki Tahun 1870-an.... 45
Bab 5
Keturunan
Turki di Tamiang................................................. 56
Bab 6
Pengaruh
Turki Dalam Peradaban Aceh Sampai Kini........... 61
Kesimpulan.......................................................................... 78
Biografi
Penulis.................................................................... 83
Lampiran.............................................................................. 85
Foto....................................................................................... 105
Buku
ini tidak mengulas tentang isu-isu politik, juga tidak mengangkat fakta-fakta mengenai gempa dan tsunami
yang muncul tiba-tiba dan menyapu habis segala yang ada
di sepanjang wilayah pesisir Aceh
pada tanggal 26 Desember 2004. Buku ini juga bukan sebuah kisah nostalgia yang
mengagung-agungkan kejayaan masa lalu dalam hubungan antara Aceh dan Ottoman.1 Sebaliknya, buku ini merupakan
sebuah upaya, dalam batasan tertentu, untuk meninjau kembali apa yang telah
terjadi di masa lalu baik yang telah lama sekali atau yang baru-baru ini serta
untuk mentelaah kembali aspek-aspek utama dari hubungan antara kedua negara.
Untuk tujuan itu, dalam buku ini saya memuat beberapa catatan pribadi
berdasarkan pengalaman saya bertemu dengan beberapa kalangan masyarakat Aceh
yang terkait. Dalam interaksi saya dengan mereka, saya menemukan refleksi
sejarah “berdasarkan sudut pandang yang paling ganjil dan sangat tidak lazim”
seperti yang pernah dikemukakan oleh William R. Roff. Selain itu, berbagai
sumber termasuk beberapa Hikayat, dokumen arsip dan karya ilmiah kontemporer
dalam bahasa Turki, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang saya baca juga
telah memberikan banyak andil dalam penulisan buku ini. Demikianpun, saya tidak
mengatakan bahwa buku ini merupakan sebuah sejarah lengkap mengenai hubungan
antara Aceh dan Ottoman. Sebaliknya, ini akan mengingatkan kita untuk
memperhatikan kembali beberapa aspek dari hubungan ini khususnya dalam
perspektif upaya politik Aceh yang
1Kata
‘Ottoman’ dan ‘Turki’ dalam teks ini digunakan secara silih
berganti. Dari sini, harap diingat bahwa Ottoman tidak hanya mencakup sebuah
negara saja, melainkan beberapa negara sepanjang berabad-abad. Sebagai contoh
sederhana, perlu saya sebutkan bahwa kemungkinan telah ada kehadiran beberapa
unsur Turki pada masa pra maupun paska Ottoman sebagaimana yang dikemukakan
dalam beberapa bagian teks yang terkait.
|
v
|
|
|
|
|
Perhatian utama saya di sini adalah untuk menyajikan
sebuah gambaran menyeluruh mengenai sifat hubungan antara kedua negara.
Sehubungan dengan hal ini, tidaklah salah jika saya mengatakan bahwa tsunami
telah menciptakan sebuah sebab sehingga hubungan zaman lawas antara Aceh dan
Ottoman kembali dikenang. Pada saat yang sama, juga tidak salah untuk
menanyakan apakah ada diberikan perhatian yang memadai terhadap baik hubungan
lama maupun yang relatif baru dengan tujuan untuk mengetahui makna yang
sebenarnya di balik hubungan tersebut. Tidak diragukan lagi, siapapun boleh
berpendapat bahwa sebagian besar periode modern dianggap sebagai dekade yang
hilang atau terputus bagi hubungan antara kedua negara. Dan selama
dekade-dekade yang hilang ini kedua negara umumnya masing-masing sibuk mengurusi
kericuhan politik negara mereka sendiri, dan tidak diragukan lagi bahwa banyak
hal telah berubah. Namun, memang benar bahwa pada saat yang sama tsunami telah
membuka sebuah saluran yang berpotensi untuk memulihkan atau menyambung kembali
hubungan yang hilang atau terputus ini.
Buku ini terdiri dari enam bab utama,
lampiran-lampiran dan foto-foto. Untuk itu, saya ingin memberikan sedikit
penjelasan singkat mengenai bab-bab ini. Bab satu adalah mengenai sejarah dan
pengalaman pribadi saya saat berada di Aceh. Bagian ini merupakan catatan
permulaan mengenai bagaimana saya mengetahui keberadaan Aceh di usia muda saya.
Ini juga mengulas mengenai beragam pengalaman dan pengamatan pribadi saya serta
upaya-upaya yang saya lakukan selama kehadiran saya pada pertama kalinya di
Aceh setelah tsunami. Selain itu, terkait dengan kehadiran saya setelah
tsunami, saya ada membuat karya tulis mengenai Aceh baik yang yang bersifat
akademis maupun non-akademis yang pernah terbit melalui
vi
berbagai
media. Siapapun dapat menegaskan bahwa tulisan-tulisan ini membuktikan dalam
aspek dan ruang lingkup mana saya telah terlibat di Aceh.
Bagian lain dari buku ini disusun untuk meninjau
kembali berbagai aspek mengenai hubungan antara masyarakat Aceh dan bangsa
Turki. Dalam konteks ini, beberapa perkembangan konkret muncul pada masa
Kesultanan Aceh Darussalam dan Negara Ottoman. Dan beberapa perkembangan yang
terjadi di luar periode itu mungkin akan diulas juga secara ringkas; kesemuanya
akan menjadi bahan pertimbangan dalam penulisan buku ini. Selain itu, mungkin
akan mengejutkan bagi beberapa kalangan bahwa hubungan ini tidak terbatas pada
masa Ottoman saja. Sebaliknya, ada beberapa indikator kecil dalam sejarah yang
layak untuk dipertimbangkan meskipun hanya diulas secara ringkas.
Bab Dua adalah rangkuman refleksi mengenai kehadiran
Turki Utsmani di Aceh. Pada bagian ini, saya menyajikan beberapa fakta konkret
dan sejarah lisan untuk melacak hubungan Turki sampai batas tertentu. Oleh
karena itu, ini masih menjadi pekerjaan yang belum selesai dalam mengurai dan
mengungkap segala pengalaman dan temuan saya di Aceh serta hasil bacaan dari
berbagai sumber selama proses penulisan buku ini. Saya mendapat informasi mengenai
beberapa orang yang mengaku memiliki hubungan dengan Turki melalui pernikahan
dengan keturunan Turki.
Bab Tiga mengulas tentang kisah ‘meriam lada
secupak’ sebagai fenomena yang muncul setelah dimulainya upaya untuk membangun
hubungan dengan Turki Utsmani melalui kebijakan yang dibuat oleh Sultan
Al-Qahhar dengan penuh semangat pada tahun 1560-an dalam bentuk pengiriman
utusan ke Konstantinopel. Ternyata, ini menjadi upaya nyata sebagai pencetus
hubungan antara Aceh dan Ottoman. Meskipun besar
vii
kemungkinan
bahwa hubungan antara kedua negara telah berlangsung beberapa abad lebih awal
bahkan sebelum terjadi kisah meriam lada secupak ini, kunjungan ini telah
mengukir sebuah catatan sejarah dan dampaknya masih tercermin sampai hari ini.
Dan peristiwa ini telah membentuk sebuah persepsi mengenai Turki di kalangan
masyarakat Aceh. Di sisi lain, saya ingin mengemukakan penafsiran saya bahwa
upaya yang dilakukan oleh Sultan Aceh adalah sebuah tindakan konstruktif dalam
membangun hubungan antara kekuasaan pusat dan pinggiran. Jika hubungan historis
ini ditelusuri akan terbukti bahwa ada keberlanjutan dari hubungan yang
terbangun ini. Sesungguhnya, penafsiran ini didasarkan pada analisa yang
tersurat bersumber dari kesefahaman umum di antara para cendikiawan Islam.
Fakta bahwa Sultan Aceh memiliki akses ke pusat Kekhalifahan bukanlah suatu
upaya untuk meminta beberapa peralatan militer. Meskipun memang benar bahwa
elit politik Aceh menuntut semacam ‘kontribusi militer’ dari Dinasti Utsmani,
itu hanyalah cerminan dari kebijakan besar Kesultanan. Dalam hal ini, saya
tidak melibatkan semua kesepahaman yang bersifat mitologis dalam BAB ini, namun
saya mencoba untuk membahas tentang kemungkinan rekonstruksi paradigma politik
Aceh.
Bab Empat menelaah mengenai upaya untuk penguatan
kembali hubungan antara kedua negara (Aceh dan Ottoman) sehubungan dengan
invasi Belanda. Diketahui bahwa penguasa Belanda mengemukakan hasrat mereka
untuk memasukkan tanah Aceh kedalam kedaulatan politik mereka sejak
dekade-dekade awal abad kesembilan belas. Ini menjadi faktor pendorong bagi
elit penguasa Aceh untuk menghidupkan kembali hubungan lama dengan Dinasti
Utsmani dan berupaya untuk bergabung atau berbagi hak teritorial dengan
supremasi Ottoman. Upaya Aceh dengan mengirim utusan ke Konstantinopel melalui
viii
serangkaian
kunjungan mendapat sorotan bukan hanya dari beberapa media di Konstantinopel
tetapi juga menyebabkan Perang Belanda menjadi isu politik internasional.
Apakah upaya-upaya ini melahirkan kontribusi nyata atau tidak, kenyataannya
adalah bahwa upaya yang dilakukan oleh Aceh layak dianggap sebagai bagian dari
proses pembangunan serikat Islam baru.
Bab Lima didasarkan pada cerita lisan yang
dicatatkan oleh beberapa keturunan ‘Raja’ di Tamiang. Dan anggota sepuh
(tertua) dari keluarga ini mendukung catatan-catatan mereka dengan beberapa
dokumen otentik. Setelah saya menerima sepucuk surat dari mereka, saya
meluangkan waktu untuk mengunjungi keluarga ini yang tinggal di Medan. Ini
hanyalah kisah pembuka mengenai isu ini sehingga beberapa upaya harus dilakukan
dan lebih banyak waktu harus dicurahkan untuk mengungkapkannya.
Bab enam mengupas secara ringkas mengenai makna kata
Rum/Rumi/Turkoman sebagai konsep yang ditemukan dalam berbagai naskah
(manuskrip) lokal, catatan para pelaku ekspedisi dan sumber-sumber akademik
kontemporer. Meskipun citra Disnasi Utsmani sangat dihargai, ada beberapa
referensi yang menyebutkan bahwa barangkali ada beberapa unsur Turki yang
bermigrasi dan menetap di beberapa tempat di sekitar Samudra Hindia. Dan hal
ini saja telah menjadi isu yang sangat menarik untuk diteliti mengenai
kehadiran Turki baik yang datang dari anak benua India maupun dari suatu tempat
di negeri-negeri
ix
Arab. Kemudian, bab ini mempertimbangkan beberapa
aspek mengenai hubungan antara Ottoman dan masyarakat Aceh.
Pada titik ini, menjadi suatu keharusan untuk
mengingatkan para pembaca bahwa kehadiran Turki (atau unsur-unsur yang
berkaitan dengan Turki) melalui hubungan politik, budaya dan agama yang
terbangun sepanjang perjalanan sejarah tidak hanya terbatas untuk wilayah Aceh
saja di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bahwa
interaksi dan hubungan antara Aceh dan Turki sepanjang sejarah merupakan bagian
dari kehadiran Turki di beberapa wilayah di dunia. Yang sering diingat oleh
kebanyakan rakyat Aceh terkait dengan kehadiran Turki adalah mengenai ‘meriam
lada secupak’. Sementara itu, di sini perlu juga untuk mempertanyakan “apa
yang diketahui oleh masyarakat Turki tentang Aceh?”
Hubungan antara perwakilan dunia Islam wilayah
‘Timur’ (Kesultanan Aceh Darussalam) dan perwakilan dunia Islam wilayah ‘Barat’
(Negara Ottoman) tidak dapat dipandang hanya sebatas hubungan antara daerah
kekuasaan dengan negara bawahan, meskipun faktanya bahwa seperti itulah
pemahaman yang terbentuk di banyak kalangan termasuk di antara para akademisi.
Dalam kata lain, upaya yang dilakukan oleh para
sultan Aceh tidak boleh dikategorikan sebagai permintaan negara bawahan kepada
negara atasan. Sebaliknya, upaya terus menerus yang dilakukan sultan Aceh harus
dianggap sebagai suatu arah baru untuk membangun hubungan antara pusat Islam
Barat dan Timur; katakanlah antara pusat (Negara Ottoman) dan pinggiran
(Kesultanan Aceh Darussalam). Tidak diragukan lagi bahwa hubungan-hubungan ini
merupakan contoh nyata di antara model hubungan yang diterapkan oleh komunitas
Muslim Asia Tenggara yang mencari jalur penghubung dengan dunia Islam di luar
perbatasannya yang diistilahkan dengan “ecunemism
x Mehmet Özay
Banyak kalangan berpandangan bahwa hubungan antara
Turki dan Aceh terjadi karena elit politik Aceh meminta bantuan militer dan
rekan Turkinya menanggapi dengan mengirimkan beberapa ahli dan peralatan
militer termasuk ‘meriam’. Dalam pertimbangan ini, saya dengan keras
menekankan bahwa penyederhanaan semacam ini hanya membawa kita pada pemahaman
yang dangkal mengenai persoalan sebenarnya. Karena alasan ini pula, hubungan
antara kedua negara harus ditinjau dan dievaluasi kembali dengan menggunakan
perspektif baru berkaitan dengan paradigma politik Aceh yang dikembangkan oleh
para elit politiknya. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sebuah tantangan
besar karena persepsi seperti ini mengenai hubungan antara kedua negara telah
terbangun bukan hanya di kalangan masyarakat Turki dan Aceh, tetapi juga
kalangan akademisi secara umum.
Para
elit politik Kesultanan Aceh Darussalam mengalihkan perhatian mereka ke
Konstantinopel tak lama setelah Kesultanan Aceh Darussalam terbentuk sebagai
sebuah negara berdaulat dan secara bertahap berkembang seiring perjalanan
waktu. Alasan kebijakan para elit politik Aceh ini didasarkan pada persepsi
bahwa Kepala Negara Ottoman dipandang sebagai pusat tertinggi otoritas
keagamaan, yakni Khalifah. Dalam terminologi politik-keagamaan, Khalifah
melambangkan pusat kedaulatan Islam. Refleksi upaya ini diketahui melalui
kemunculan pertama utusan Aceh di Konstantinopel pada tahun 1560-an, meskipun
mungkin telah terjadi beberapa kontak awal melalui bupati Mekkah, Madinah dan
Kairo yang berada di bawah kedaulatan Negara Ottoman. Tidak mengherankan
beberapa peneliti seperti Arun Gupta Das berpendapat bahwa telah terjadi
beberapa
2Michael
Francis Laffan. (2003). Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma
Below the Winds, London: Routledge-Curzon, hal. 3.
|
xi
|
|
|
|
|
kontak awal antara Aceh
dan Ottoman3 melalui
Gubernur Mesir. Dan tidak ada keraguan bahwa saluran yang disebutkan di atas
yakni Mekkah, Madinah dan Kairo juga berfungsi dalam abad-abad berikutnya,
ketika elit politik Aceh berusaha untuk mencapai Konstantinopel pada tahun
1851, 1868 dan 1872 untuk memperbaharui hubungan lama dan mencari perlindungan
sebagai negara bawahan selama pemerintahan Sultan Ibrahim Mansur Shah dan
Sultan Mahmud Shah menjelang pecahnya Perang Belanda.4
Meskipun delegasi Aceh tiba di Konstantinopel pada
paruh kedua abad ke-16, mereka tidak langsung mendapat pengakuan dari penguasa
Ottoman, sehingga mereka terpaksa memperkenalkan diri terlebih dahulu dengan
beberapa negara Islam Timur lainnya.5
Dari semua masyarakat Pinggiran Timur Dunia Islam,6
Kesultanan Aceh dengan inisiatifnya ini muncul sebagai sosok atau aktor yang
paling konstruktif dalam hal membangun hubungan internasional sejak abad ke-16
sampai akhir dekade abad ke-19. Ini mungkin dipandang sebagai titik awal yang
terpenting dari keseluruhan cerita.
Di luar hubungan-hubungan yang dilakukan melalui
jalur resmi, kemungkinan ada beberapa unsur Turki yang lebih awal terlibat di
Aceh, bahkan sebelum terjalin hubungan dengan Dinasti Utsmani. Dalam konteks
ini, mungkin ada beberapa macam upaya individu yang diprakarsai oleh beberapa
orang atau
3Arun Dasgupta.
(1962). Acheh in Indonesian Trade and Politics: 1600-1641, hal. 45-6; A.
H. Johns,
“Malay Sufism”, Journal of the Malaysian Branch of the
Royal Asiatic Society”, Vol.
XXX, Part 2, No.
178, August, 1957, hal. 9; Uka Tjandrasasmita. (2001). “The Indonesian
Harbour Cities and the Coming of the
Portuguese”, Indonesia-Portugal: Five Hundred Years
of
Historical
Relationship, Lizbon: CEPESA, hal. 59-60.
4BOA–Başbakanlık Osmanlı
Arşivi (Ottoman Archives), YPRK.EŞA.28/66, 1315.5.13; Y.A.HUS, 1316.1.1,
İstanbul.
5Snouck Hurgronje.
(1906). The Acehnese, Tr.: A.W. S. O’Sullivan, Vol. I, E. J.
Brill, Leiden, hal. 208-9.
6Michael Francis
Laffan. (2003). Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below
the Winds, London: Routledge-Curzon, hal. 9.
xii
kelompok Turki baik yang berasal dari daratan Turki
Utsmani maupun yang berasal dari kawasan lain seperti pelabuhan-pelabuhan
Persia dan India yang datang ke Aceh sebagai tentara, pengrajin, ulama,
pedagang dan lain sebagainya. Tapi fakta yang berkaitan dengan hubungan masa
lalu tetap hidup dan terpelihara hingga saat ini di kalangan masyarakat Aceh
dalam batas-batas tertentu atau lebih luas. Adalah tugas kita untuk menurunkan
ingatan ini kepada generasi muda dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman
kita. Karena alasan ini, buku ini adalah produk dari keprihatinan ini.
Di sini saya ingin mengucapkan banyak terima kasih
pertama-tama kepada Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh untuk publikasi karya
ini. Selama proses penulisan buku ini, saya dan kolega-kolega saya dari PuKAT
(Pusat Kebudayaan Aceh Dan Turki) telah menerima kerjasama yang besar dalam
mewujudkan pekerjaan ini menjadi sebuah karya yang berhasil diproses dalam
waktu yang sangat singkat. Trimakasih juga kepada Saudara Afdhal Muchtar yang
memberikan sumbangan besar dalam menterjemahkan tulisan ini ke dalam teks
Bahasa Indonesia. Kemudian tidak lupa saya bersyukur atas bantuan Saudara
Thayeb Loh Ängen yang merupakan personil kunci dari keseluruhan proses ini.
Tanpa Beliau buku ini tentu tidak berada pada tahap seperti ini
Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada Dr.
Kamal Arif dan Coşkun Aral yang telah menyumbangkan koleksi foto-foto pribadi
mereka demi menyempurnakan kandungan buku ini.
Banda Aceh
Oktober 2014
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder