Mehmet Özay 8 Oktober 2012
Perkembangan kesadaran terhadap wilayah otoritas Usmani hampir selalu
menjadi topik yang menarik didiskusikan dalam berbagai karya ilmiah. Salah satu
yang terkini diterbitkan di Journal of Ottoman Studies (Jurnal Kajian Usmani No.
XXXIX, 2012), di Istanbul ditulis oleh Pinar Emiralioglu.
Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan dalam teks ini berkaitan dengan
kesadaran teritorial dan pemahaman Usmani atas dasar buku ‘Book on China’, sebuah catatan perjalanan, yang disempurnakan oleh
Ali Akber Khitayi pada 3 Mei 1516 di Konstantinople. Buku tersebut pada awalnya
dimaksudkan untuk dipersembahkan kepada Sultan Selim I (1512-1520), tetapi
karena berbagai alasan, buku tersebut akhirnya diserahkan kepada Sultan
Sulaiman Al Qanuni, sang pencetus hukum yang Agung (1520-1566).
Tak perlu diragukan bahwa China dengan hak penuh telah diakui sebagai salah
satu negeri berperadaban paling tinggi dalam sejarah dunia, baik dalam segi
kebangsaan China, birokrasi, administrasi atau yang lainnya, yang berkembang di
atas dasar kekuasaan turun-temurun dari
dinasti ke dinasti. Dan Ali Ekber Khitayi menonjolkan China dan tradisi
bangsanya dan dasar-dasar hukumnya dalam buku tersebut dan menasehatkan model
untuk kepengurusan negara Usmani kedepan. Sebagaimana yang telah diutarakan
dalam artikel diatas, tampaknya tokoh intelektual politik Usmani, birokrats,
dan pembuat keputusan menemukan bagian –bagian dari buku itu yang dapat
dimanfaatkan dan dapat dipraktekkan sepanjang tahun-tahun kekuasaan Sultan
Sulaiman. Meskipun tidak ada pertentangan dari emulasi tradisi China tersebut
diatas, saya tidak begitu yakin tentang sikap penulis Pinar yang menekankan
bahwa karya Khitayi merupakan penyebab besar akan munculnya ‘kesadaran
geografi’ dan ‘ambisi imperialisme’ pada abad ke-16.
Mari saya terangkan secara singkat terkait, argumentasi yang kedua, yaitu,
ambisi imperialisme. Konsep ini tidak bisa digunakan dalam kebijaksanaan Negeri
Usmani, karena hal ini sangat berkaitan dengan pendekatan-pendekatan
imperialistik yang tidak ditemukan dalam sejarah Turki Usmani. Karena ambisi
imperialisme dominannya terhubung dengan kekaisaran-kekaisaran benua Eropa,
sang penulis tampaknya telah dengan tidak sadar merefleksikan konsep ini
terhadap Usmani secara khususnya.
Kekhalifahan Usmani, terutama setelah mengakhiri kerajaan Mamluk dan
mengeggam hegomoni teritorial Tanah Suci, memiliki ketertarikan penaklukkan
yang lebih besar terhadap negeri-negeri lainnya, termasuk China. Dan sekaitan
dengan ini, China barangkali telah menjadi semacam contoh sebagai salah satu
pemegang kuasa dunia. Meskipun begitu, lebih jauh dari kandungan buku Khitayi
dan buku –buku lain yang senada, dalam kenyataannya, pendekatan yang paling
konkrit yang telah dilakukan kesultanan Aceh pada abad ke-16 tidak bisa begitu
saja ditiadakan. Selain itu, pendekatan ini harus dipertimbangkan dalam dua
cara: a) dalam lingkup filosofi politik dan ideologi sultan-sultan Aceh; b)
kontribusi terhadap terbentuknya kesadaran Usmani akan eksistensi dunia Islam
bagian timur atau geograpfinya, atau bisa juga sekaligus keduanya.
Dalam konteks ini, saya ingin menyorot aspirasi dan prinsip politik nyata
kesultanan Aceh Darussalam sejak tahun-tahun kuasa ayah penemu (founding
father), Ali Mughayat Shah Saya tidak mengatakan aspirasi dan prinsip ini hanya
timbul pada masa Sultan terbesut itu. Meskipun begitu, tidak ada rekaman teks
konkrit-sekurang-kurangnya dalam pengetahuan saya – kebijaksaaan ini merupakan
kelanjutan dari kesultanan-kesultanan lain yang didirikan di bagian utara
Sumatra. Dalam persoalan ini, dapat diakui bahwa kesultanan Aceh Darussalam
telah mendemonstrasikan sebuah tradisi yang sudah terkonstruksi di sepanjang
proses islamisasi dan keterlibatan politik negeri-negeri Islam terkait di
Sumatra.
Hanya sekedar
mengingatkan, ada baiknya untuk dikemukakan disini tentang bagaimana minat
Usmani mulai merambah kepada kontak dengan Samudra Hindia. Mengenai hal ini,
juga tidak jauh menarik jika disaksikan dalam rekaman-rekaman sejarah bahwa
alasan-alasan keinginan Usmani tersebut timbul dikarenakan adanya persoalan
faktor luar seperti monopoli Portugis di Samudra Hindia. Tidak diragukan bahwa
Usmani memiliki visi sebagai pihak yang ‘diterima’ seumpama Negara yang
protektif akan Islam dan muslim di geografi ini. Walaupun begitu,
wilayah-wilayah dikepulauan ini tampaknya, dalam beberapa hal, secara terbatas
berada dibawah kekuasaan elit Usmani dan intelektual politik hingga permulaan
abad ke-16. Khususnya, pengaruh Portugis dalam hubungan perniagaan sepanjang
Samudra Hindia mencakup geografi yang luas dimulai dari Afrika Timur hingga
ujung Nusantara Melayu, termasuk kota kota pesisiran China yang tidak bisa
diabaikan. Keberadaan Portugis membuat kita memikirkan pemahaman multi-lineal
terhadap perkembangan-perkembangan seperti komunitas muslim dalam hal
keterlibatan langsung mereka dalam hubungan dagang dan pelayaran-pelayaran ke
Tanah Suci melewati Samudra Hindia, dan berbisnis via Samudra mencapai
pesisiran Eropa melalui kota-kota Mediterania dan lain sebagainya. Ketika
perkembangan semacam ini berlangsung, ada berbagai ukuran kesultanan Islam dan
kota-kota tanpa daya sebagaimana yang sering kali disebutkan dalam karya karya ilmiah barat, memohon
dengan sukses bantuan dari Konstantinopel untuk mempertahankan posisi mereka di
depan penjajahan Portugis.
Diantara tuntutan
tersebut, kesultanan Aceh Darussalam tampaknya berada dalam pertimbangan
tersendiri disebabkan oleh letak geografinya yang penulis debatkan telah
mengadakan pembentukan semacam persepsi global akan hegemony dan legitimasi
territorial Usmani di Samudra Hindia. Lebih jauh lagi, permintaan orang Aceh
tidak berkembang secara kebetulan, sebaliknya sangat hati hati terstruktur
sebagai representasi konkrit kesadaran ideologi dan politik Aceh yang menjadi
bagian dari persatuan Islam global sebagaimana disaksikan dalam prinsip-prinsip
hubungan internasional yang dipenakan oleh Sultan Aceh yang pertama.[1]
Sekaitan dengan ini, saya ingin menonjolkan juga bahwa kesadaramn geografi
elit-elit politik Aceh tidak dibatasi
dengan Selat Melaka saja, sebaliknya memanjang tidak hanya sampai ke pusat
politik-agama duani muslim, katakanlah Konstantinopel, tapi juga hingga china
yang sepanjang sejarah telah berpengaruh diseputar Samudra Hindia. Ini
disebabkan oleh kealamiahan kondisi geo-strategis tanoh Aceh yang menguat di Samudra Hindia dan dapat mengakses
bagian timur dan barat samudra. Apa
yang ingin saya sampaikan adalah elit politik Aceh memperkenalkan peripheri
timur dunia Islam kepada Kekhalifahan Usmani dengan mengirim utusan-utusannya
secara berkesinambungan pada abad ke-16. Sepanjang interaksi
langsung dan tidak langsung orang Aceh dengan kedaultanan politik di
Konstantinopel membantu Usmani dalam mendefiniskan entity geografi di dunia
Islam. Saya berargumen disini bahwa proses harus dipertimbangkan
sekurang-kurangnya sebagai salah satu fase modernisasi kekhalifahan Usamani
terutama dalam hal perkembangan kesadaran geografi. Lebih jauh lagi,
perniagaan-perniagaan internasional Aceh diperkirakan telah mampu membangun
sebuah mind-set untuk menyatukan filosofi politik Istana Turki Usmani.
Isu lain yang ingin
saya timbang adalah bahwa, katakanlah permulaan abad ke-16 Piri Reis telah
memproduksi atlas dunia pada tahun 1513 yang barangkali telah memasukkan pulau
Sumatra dan dipersembahkan kepada Sultan Selim I selama masa jabatan perangnya
melawan Mamluk pada tahun 1516 di Kairo. Selama itu, Sultan Selim I diharapkan
telah memiliki sebuah ide tentang dunia-dunia bagian timur, tetapi interaksi
konkrit dengan geografi ini dijalin dengan perniagaan-perniagaan politik
sengaja oleh sultan-sultan Aceh. Untuk kalimat terakhir, biarlah saya tutup
tulisan ini dengan sebuah pertanyaan. Jika kesadaran geografi Usmani
dipengaruhi oleh karya Khatayi dan sebagaimana yang sudah saya kemukan mengenai
pendekatan konkrit Aceh, bagaimana mungkin kita menemukan elemen Usmani di
Pasai dan Melaka selama permulaan abad ke-16 seperti yang disebutkan dalam
sumber-sumber Portugis?. Saya berharap mampu menemukan jawabannya dalam
tulisan-tulisan anak negeri lainnya.
[1] Sumber ini bisa didapatkan dalam berbagai buku karangan Prof. Ali
Hasjmy. Jika ada kalangan yang menolak akan keilmiahan buku-buku beliau, maka
itu menjadi tugas kalangan tersebut untuk menemukan secara ilmiah bagaimana
beliau memngembangkan ide seperti ini dalam buku-bukunya.
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder