Mehmet Özay 24.04.2024
Penjelasan pertama saya temukan
dalam catatan memoarnya dan kemudian bab buku yang diterbitkan berjudul “Dengan
Otodidak Mengemban Tugas Rakyat” dalam buku berjudul “Visi Wartawan 45”
terbitan tahun 1992. Judul bab buku tersebut secara eksplisit mencerminkan
niatnya dan alasannya memutuskan untuk menjadi jurnalis. Jelas sekali bahwa
kepentingan utamanya adalah terbangunnya keadilan dalam masyarakat. Artinya,
dia menugaskan dirinya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Setelah pertanyaan di atas, pertanyaan kedua adalah bagaimana HMS memperoleh kesadaran tersebut. Secara sosiologis, dapat dikatakan bahwa ia mengamati masyarakatnya dengan cermat. Ya, ini benar. Secara khusus, selama bekerja di pemerintahan Kota Pinang pada tahun 1920, ia menemukan beberapa permasalahan sosial, termasuk kondisi pekerja migran dan keterlibatan masyarakat lokal di sektor perkebunan. Maklum, secara tersirat ia memutuskan untuk mengadvokasi kelompok masyarakat yang terkesan tak berdaya di ruang publik tersebut.
Buruh dan Keadilan
Kehadiran mereka juga terlihat jelas seiring dengan
peningkatan investasi perkebunan dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20
di Sumatera Utara. HMS mungkin pertama kali menemukan konsep ‘koeli’ dan
terminologi yang relevan selama masa kecilnya di kampung halamannya. Pasalnya,
Mohammad Yamin, wakil ‘Sarekat Islam’, mengkritik kondisi sosial ekonomi kelas
pekerja saat itu. HMS berpesan agar kelas buruh yang bekerja di perkebunan di
Sumatera Utara tidak bisa membela diri terhadap korporasi dan majikan. Hak-hak
mereka dibingkai melalui peraturan ketat spesifik yang tertulis di kontrak
mereka, yang ditandatangani pada tahap awal kerja mereka.
Proses ini juga menyebabkan
munculnya kesadaran tentang perlunya keadilan di kalangan kalangan terpelajar,
termasuk jurnalis dan kalangan sastra. Pengoperasian industri perkebunan
dimulai pada paruh kedua abad ke-19 dan meningkat secara signifikan karena
permintaan global terhadap produk berharga ini. Namun, beberapa ketidakadilan
telah diterapkan oleh investor dan pemilik perkebunan terhadap karyawannya
seiring berjalannya waktu. Hal ini menjadi fenomena sosial dan politik yang
parah pada awal abad ke-20. Pemilik perkebunan Belanda merasakan keresahan di
kalangan karyawannya, dan dia mengumumkan hal ini di beberapa surat kabar untuk
mengambil tindakan menuju perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya
berdasarkan kepentingannya.
Sumatera Utara terbagi antara
penderitaan kelas buruh dan kesenangan investor asing serta kolaborator
lokalnya. Peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan kolonial merupakan
pelanggaran terhadap martabat kelas buruh. Kondisi kehidupan buruh tidak
tertahankan dan diperburuk dengan penerapan Panai yang baru. Tema sentral
penulisan HMS adalah pemahamannya tentang rezim kolonial melalui angkatan kerja
dalam pepatah lain, Koeli Kontrak.
Namun mengenai proses ini, setelah beberapa waktu, ia menulis salah satu artikel pertama tentang “penderitaan petani, dan pekerja kontrak” (kuli kontrak) di bawah pengusaha asing pada masa kolonial. Sebagaimana yang diamati dalam tulisan HMS, terjadi kesalahan pengelolaan tenaga kerja yang bahkan sampai pada tingkat pelecehan terhadap pekerja kontrak yang mencari solusi nekat seperti melarikan diri dari asrama perkebunannya dan termasuk melukai staf administrasi kulit putih.
HMS berpesan agar kelas buruh yang
bekerja di perkebunan di Sumatera Utara tidak bisa membela diri terhadap
korporasi dan majikan. Mereka terikat pada peraturan ketat tertentu yang
tertulis di kontrak mereka, yang mereka tandatangani pada tahap awal kerja.
Munculnya usaha perkebunan yang disertai dengan perluasan dan perluasan wilayah
negara-negara Eropa Barat menyebabkan dominasi ekonomi dan politik mereka
sangat dirasakan oleh masyarakat adat. Proses ini menjadi media eksploitasi
terhadap masyarakat adat karena mereka pada tingkat yang lebih kecil atau lebih
signifikan dipaksa menjadi kelas buruh seiring dengan meluasnya dominasi Eropa.
HMS menganut sistem peradilan dan memiliki pandangan kritis terhadap kelompok, baik asing maupun pribumi, yang dianggap bertanggung jawab atas ketidakadilan yang terjadi di sektor perkebunan. HMS sangat tajam dan mengkritik keras sistem yang tidak adil pada masa maraknya tanaman ekspor pada tahun 1920-an melalui investasi besar-besaran di kawasan perkebunan pertanian sejak tahun 1920-an dan seterusnya—berkembangnya bisnis sistem perkebunan diberdayakan oleh kondisi kolonial, baik faktor internal maupun eksternal. Sejak saat itu, secara implisit (saya kira) dan secara eksplisit ia berusaha untuk berada di posisi yang benar dalam ‘justice penduyum’. Sepanjang tulisannya tentang berbagai topik, ia menyadarkan masyarakat terhadap isu-isu yang relevan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan saya pada karya-karya HMS juga penting untuk memahami bagaimana aktor-aktor sipil dan pejabat tertentu memicu perubahan masyarakat.
HMS berwacana tentang kondisi kerja kelas buruh. Baik pendatang dari jarak jauh maupun penduduk lokal di pesisir Sumatera Utara secara eksplisit berbicara mengenai perkembangan kesejahteraan mereka. Karena kemajuan, sebagai sebuah konsep baru, telah memasuki wacana sosial melalui media cetak dan surat kabar pemerintah, tidak ada segmen sosial yang bisa lepas dari dampak dan pengaruhnya. Sebagai seorang pengamat, HMS tentu menaruh perhatian besar terhadap kemajuan perusahaan dan karyawannya. Ia terikat erat pada jurnalisme dan memainkan perannya dalam memberikan kontribusi kepada publik melalui tulisan-tulisannya. Dalam hal ini, bisa ditebak bahwa orientasi intelektualnya adalah menjangkau masyarakat umum melalui jurnalisme, yang tampaknya sudah menjadi norma baginya.
Dengan Mata Hegelian
HMS merupakan kritik politik terhadap masyarakatnya
yang dibentuk oleh kekuasaan kolonial. Saya mengusulkan untuk menamakannya
“kondisi kolonial”, yang mencakup faktor internal dan eksternal. Ada yang
berpendapat bahwa keseluruhan proses penulisan HMS merupakan hasil dari
“kesulitan kolonial” (“meminjam dari Ann Kumar), sebuah fenomena dalam tahap
perkembangan penulisan sejarah. Pemikiran dan tindakan HMS harus dianggap
mewakili nilai-nilai. Dalam hal ini, kita dapat menegaskan bahwa -dalam cara
Hegelian- kesadaran dirinya membantu pembaca untuk memahami semangat zaman itu
-perjuangan kolonial melalui pemahaman HMS. Pendekatan ini, yaitu melihat
perkembangan politik masa lalu melalui agen krusial yang spesifik, sangatlah
penting.
Dari tulisan-tulisannya dan gambaran orang-orang
yang tinggal di sekitarnya, diketahui bahwa HMS memiliki pikiran yang subur dan
gemar membaca, belajar, dan menulis sepanjang hidupnya. Melalui Koeli Kontrak,
HMS seperti beberapa intelektual lainnya menyoroti isu-isu hak asasi manusia,
keadilan sosial dan menentang wacana kolonial, yang memungkinkan mereka
mengembangkan wawasan politik dan sosiologis.
Judul bukunya yang mengacu pada persoalan kelas
buruh di Medan (Deli) sungguh mencengangkan. Setengah abad kemudian, pada tahun
1977 melalui penerbitan bukunya, HMS meninjau kembali era buruh prakolonial
yang mengambil tempat khusus di Medan. Judulnya memberikan sensibilitas
terhadap isu tersebut, dengan menyebut masa tersebut sebagai “zaman kegelapan”
karena aturan dan regulasi kolonial mengenai isu kelas buruh. Selain itu,
praktik peraturan kolonial di bawah perkebunan swasta dan negara dianggap
sebagai kondisi yang tidak manusiawi di Sumatera Utara.
HMS menyarankan perubahan substantif dalam sistem
peradilan pemerintahan kolonial. Undang-undang perburuhan tradisional, yang
ditetapkan oleh pemerintahan kolonial sejak tahun 1816 dan seterusnya,
menciptakan lingkungan kerja yang padat karya. Hal ini sebagian besar merugikan
kesejahteraan penduduk asli. Ada dua hal yang perlu diperhatikan: a)
memanfaatkan tenaga kerja penduduk asli dan b) memanfaatkan tanah asli untuk
memenuhi permintaan pasar global, yang secara historis jumlahnya terbatas di
kawasan ini.
https://epaper.waspada.id/epaper/waspada-rabu-24-april-2024/ p. B3.
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder