Mehmet
Özay 25.04.2020
Saiful
Mahdi, dosen di Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh dijatuhi hukuman 3 bulan
penjara dan 10 juta subsidier 1 bulan pada hari Selasa, 21 April setelah
menjalani proses hampir satu tahun yang lalu. Meskipun begitu, advokat hukum
Saiful Mahdi menegaskan keputusan hakim ini bukanlah akhir. Proses hukum
berlanjut setelah naik banding.
Kasus
ini bermula dari pendapat Saiful Mahdi di WA grup dosen-dosen Unsyiah yang
beranggotakan lebih kurang 100 orang, soal kejanggalan perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di
Fakultas Tekhnik pada akhir tahun 2018 lalu yang disambut dengan laporan polisi
atas tindak kriminal pencemaran nama baik oleh Dekan Fakultas Tehnik
Universitas Syiah Kuala. Kasus WA ini dilaporkan dengan alasan melanggar UU ITE
Pasal 27 ayat 3/2016.
Dalam
proses hukum ini, terdapat kalangan yang menganjurkan perdamaian, seperti
misalnya yang disampaikan oleh kementerian pendidikan tinggi. Ini buru-buru
disambut dengan khabar bahwa Dekan menginginkan Saiful Mahdi yang meminta maaf.
Apa yang dilupakan ketika upaya berdamai ini adalah timbulnya justifikasi
superioriti satu pihak yang menjelaskan miskinnya sensor keadilan di negeri
ini.
Kalangan
yang menasehatkan damai antara kedua dosen ini nampaknya juga tidak mengerti
budaya kolusi di kawasan ini. Damai antara dua pihak yang berseteru bisa diartikan
oleh kelompok terlibat dalam bentuk yang lebih ‘kreatif’. Misalnya pembagian
uang secara merata antara kelompok terkait, atau bisa juga dalam bentuk selipan
prospektif perekrutan anggota dekat untuk CPNS dimasa yang akan datang!
Penolakan
Saiful Mahdi untuk meminta maaf adalah acungan jempol. Karena kasus ini bukan
didasari oleh hal personal seperti layaknya dua tetangga yang sedang adu
kemarahan dalam sebuah kampong, melainkan proses perkembangan yang harus melibatkan
profesionalisme.
Platform Whatssap/Pertemuan Senat
Common Sense (intuisi normal) adalah
makna tersirat dari apa yang disampaikan secara implisit oleh Saiful Mahdi dalam
teks WA-nya. Artinya, ia menegaskan apa yang dilakukan oleh pihak kampus
bertentangan dengan fungsi kampus sebagai alat ukur ilmiah kriteria rasional.
Problem sistemik ini sudah terlihat dalam perekrutan CPNS yang
kandidat-kandidatnya sudah terlebih dahulu di ‘pesan’ dan pesan teks tersebut
hanya bisa diakses oleh anggota-anggota kampus.
Dalam
pesan singkat WA ini, ia mengeluhkan kemunduran kampus Unsyiah dari ‘sebelumnya berjaya yang kemudian memble’.
Pernyataan ini merujuk pada ‘ketidaklayakan’ yang sudah mendalam. Dalam poin
ini perlu ditanyakan apa yang terjadi ketika Saiful Mahdi menyorot isu yang
mendebatkan suatu kejanggalan dalam perjalanan akademik kolega-kolega kampus
tersebut.
Pencemaran
nama baik, bentuk kriminal yang coba dijatuhkan pada Saiful Mahdi sama sekali
tidak patut karena teks WA Saiful Mahdi tidak menyebut nama personal. Ketika ia
dihadapkan dalam pertemuan senat pun, jika keluar nama-nama tertentu, ini tidak
bisa diambil sebagai upaya mencemarkan nama baik.
Pencemaran
nama baik melibatkan penyebutan nama individual dan tuduhan criminal kepada
publik yang tidak dibatasi oleh dinding WA dan pertemuan internal. Pendapat
senada yang juga disampaikan oleh ahli bahasa, Totok Suhardijanto.
Persoalan
utamanya adalah interpretasi WA oleh Dekan Fakultas tersebut. Artinya ia
berpikir pendapat dan kritik dari WA tersebut hanya ditujukan untuk dirinya
sendiri. Oleh karena itu, ada semacam ketakutan yang tampaknya belum dimengerti
publik menyebabkan ketergesaannya untuk melaporkan Saiful Mahdi pada otoriti
hukum.
Presentasi Pendapat Ahli
Para
ahli menyimpulkan keputusan yang dikeluarkan hakim tanggak 21 April itu sebuah
kesalahan. Salah satunya, ahli hukum yang berkontribusi pada persetujuan UU
ITE, Prof. Dr. Henri Subiakto mengatakan bahwa pasal 27 ayat 3 tidak bisa
menjerat kasus ini. Dalam kondisi ini ada dua pilihan soal mengapa hukuman ini
dikeluarkan.
Yang
pertama, sebagimana yang dikatakan oleh Prof. Subiakto, hakim mengazaskan
keputusannya dengan kesalahan interpretasi hukum. Sebagaimana dilangsir dari Habadaily, Ia mengatakan UU ITE pasal 27
ayat 3 ‘kerap ditafsirkan secara miring
untuk menjerat pendapat orang lain’. Ia kemudian juga mengatakan bahwa
pasal 310 (1) KUHP menjamin perlindungan bagi kritik-kritik didunia akademik.
Yang
kedua, dibelakang layar, barangkali terdapat relasi relasi gelap yang
memprioritaskan penjara tak hanya bagi Saiful Mahdi secara fisik tapi juga
pikiran pikiran yang ia suarakan. Ahli lainnya, yaitu ahli bahasa, Totok
Suhardijanto teks WA tersebut tidak menyudutkan dekan tersebut melainkan
pendapat yang disampaikan secara umum.
Problem Sistemik
Hingga
saat ini tidak banyak diketahui apa yang dimaksud dengan kejanggalan dalam
teks tersebut. Namun jika anda ada dalam lingkaran pendidikan tinggi di Banda
Aceh, maka dugaan pertama adalah seputar indikasi tindakan tidak benar seperti
nepotisme, misalnya, yang dipercayai sering terjadi dalam dunia pendidikan di
Indonesia umumnya, dan Aceh khususnya.
Sebagai
sempat dipertanyakan kebenaran isi WA tersebut, laporan untuk penyelidikan
lebih lanjut sama sekali luput terhadap pihak fakultas luput dari perhatian,
sebaliknya telunjuk salah dipaksakan hinggap pada Saiful Mahdi atas tuduhan
pencemaran nama baik.
Kasus
ini yang telah berlangsung hampir setahun ini tidak hanya berangkat dari mempersoalkan
kinerja etika dilingkaran perekrutan CPNS, tetapi juga dalam kurun waktu
tersebut secara tidak langsung mempersembahkan dugaan keberadaan penyakit sistemik
dalam tubuh pendidikan di Aceh. Lewat keputusan hakim pada tanggal 21 April
lalu, menunjukkan bahwa persoalan sistemik ini yang kita bicarakan ini nampak
nyata adanya.
Lebih
parah lagi, berpendapat dari keterangan para ahli hukum, hukuman yang
dijatuhkan atas pasal UU ITE tersebut diatas nampaknya adalah hasil dari
penyalahgunaan kuasa oleh hakim.
Kasus
pengadilan Saiful Mahdi bukan kasus antar individual melainkan kasus yang
melibatkan perkembangan institusi-institusi pendidikan dalam beberapa tahun
terakhir. Problem sistemik ini dapat dipantau dalam institusi publik, khususnya
badan pendidikan tinggi di Aceh.
Oleh
karenanya persoalan ini menyentuh hampir seluruh problematika sosial dalam
masyarakat Aceh. Ulama, dayah, institusi pendidikan tinggi, badan sipil dan
intelektual perlu mendirikan konsensus dalam hubungan-hubungan terkait yang
hanya berdasarkan hak dan kebenaran secara demokrasi, yang ditinjau dari sudut
mutu, keadilan dan lain lain, bukan sebaliknya hanya dibangun dari sudut
dukungan dan kesetiaan pada satu jaringan kelompok struktural.
Apa
yang di sampaikan oleh Saiful Mahdi adalah tuntutan terhadap
kebenaran-kebenaran itu demi keadilan bagi semua pihak.
Hiç yorum yok:
Yorum Gönder